Februari 22, 2010

Pacarku Umur 17 tahun part 2

2.
Where Are You, Boy?
Di sekolah Rena...
…Tiga puluh menit sebelum bel sekolah berbunyi, hal yang dilakukan oleh Rena dan kedua sahabatnya adalah menunggu Eldo―sang pujaan hati Rena―di depan kelas. Rena memang tidak sekelas dengan Eldo, tapi kelas Eldo bersebelahan dengan kelasnya. Jadi menunggu Eldo lewat dan menyapanya adalah rutinitas Rena sebelum masuk kelas.
Berulang kali Rena melirik arlojinya dengan gelisah. Sampai detik ini, Eldo belum muncul juga. Apa jangan-jangan Eldo nggak masuk hari ini? Atau Eldo sakit? Atau Eldo telat? Aduuuh, kemana, sih, anak itu? Rena masih bersi kukuh untuk menunggu Eldo sedangkan Mitha dan Putri memutuskan untuk masuk kelas. Hingga bel berbunyi pun, Eldo belum datang. Dengan penuh rasa kecewa Rena melangkah masuk ke kelas sebelum Ibu Endang lebih dulu masuk.
“Belum datang?” tanya Mitha, saat Rena duduk di bangkunya.
Rena hanya menggeleng lemas.
“Ya udah, mungkin aja dia telat.” Putri mengusap-usap punggung Rena. “Kalo dia benar nggak masuk, lo telepon aja.”
“Iya, deh,” Rena tidak dapat berkata-kata lagi.
Tak lama kemudian, Bu Endang masuk kelas. Semua murid kembali ke tempat duduk masing-masing. Rena sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran Bahasa Inggris―mata pelajaran favorite Rena―saat ini. Gelisah, resah, risau sedang berkecamuk dalam pikirannya karena sampai detik ini Eldo tak kunjung datang.
Rena melirik arlojinya―lagi. Sudah pukul 10.00. Waktu yang tak mungkin siswa bisa masuk ke sekolah. Dengan kata lain Eldo tidak masuk hari ini.
‘Eldo kemana ya? Tumben dia nggak masuk? Apa nanti pas istirahat aku telepon dia?’ batin Rena.
Bel istirahat berbunyi. Positif. Rena sama sekali tidak menyimak pelajaran hari ini. Pikirannya melanglang buana entah kemana memikirkan keberadaan Eldo, sang pujaan hati. Bu Endang sudah pergi meninggalkan kelas. Rena segera mengeluarkan hapenya, menekan nomor hape Eldo―yang sudah di luar kepala― dan menekan tombol ‘yes’ di hapenya.
“Halo?” terdengar suara Eldo di seberang sana. “Siapa ini?”
“E― ini g-gue Rena,” Rena tergagap.
“Rena? Rena siapa?” tanya Eldo. “Oh, Rena anak cheers itu ya?” Eldo mencoba mengingat Rena.
“I-iya.” Jawab Rena.
“Ada apa?”
“Oh, ng-nggak kok, cuma pengen tau kenapa lo nggak masuk hari ini?”
“Oh itu, gue lagi ada urusan. Jadi gue nggak masuk, deh.”
Rena mengangguk. “Oh, gue pikir lo sakit.”
“Enggak, gue baik-baik aja.”
“Y-ya udah, gitu aja. Maaf kalo gue ganggu. Dah…” Rena mematikan hapenya setelah Eldo berkata ‘Dah’ padanya.
“Gimana?” tanya Putri.
Rena melonjak kegirangan lalu memeluk Putri dengan erat kemudian melepaskannya. Dipandanginya kedua sahabatnya itu. Mitha dan Putri sangat heran melihat tingkah Rena.
“Gue pikir, Eldo nggak bakal jawab telepon gue,” kata Rena. “Tapi ternyata dia jawab.” Giliran Mitha dipeluk oleh Rena.
“Kok, lo bisa berpikiran gitu?” tanya Mitha.
Rena melepaskan pelukannya. “Gue pikir dia sombong, tapi ternyata dia anaknya nice bangeet.”
“Baguslah, mudah-mudahan lo semakin ada celah untuk dapetin Eldo.” Ucap Putri.
“Amiiiin…” Kata Rena.
“Ya udah, yuk, kita ke kantin. Gue laper, nih.” Ajak Mitha.
“Oke,” Rena berjalan meninggalkan kelas.
Selama ini Eldo cuek banget ke semua cewek ―yang berusaha mengambil hatinya―di sekolah. Selain cuek Eldo juga pendiam dan sedikit pemalu padahal wajahnya sangat, sangat, sangat, di atas standart. Ganteng. Manis. Jadi kenapa dia pemalu seperti itu? Seharusnya dia bangga dengan apa yang dimilikinya. Eldo juga salah satu murid pandai di sekolah, satu peringkat di atas Rena. Walaupun mereka saingan, tapi Rena tidak peduli.
Rena sangat menyukai Eldo sejak kelas satu. Waktu itu mereka satu kelas hingga kelas dua. Tapi Rena tidak berani untuk menyatakan perasaannya pada Eldo, karena dari pengalaman teman-teman Rena―yang pernah menyatakan perasaannya pada Eldo―mereka semua tidak ada yang berhasil merebut hati Eldo. Namun ―saking cintanya pada Eldo― Rena akan terus berusaha mendekati Eldo sampai Eldo jatuh ke tangannya entah bagaimana caranya. Rena sama sekali tidak rela jika sang pujaan hati jatuh ke tangan orang lain.
* * *
Di Teens Kafe..
Hhh, melelahkan juga double job kayak gini. Aku merebahkan tubuhku di kursi dan mengipas-ipas kertas daftar menu. AC ruangan tidak terasa karena pengunjung begitu ramai di hari ini. Pantas saja ramai, sekarang kan malam minggu. Untung semua karyawan lengkap jadi aku tidak kerepotan. Untuk hari sabtu Teens Kafe buka hingga pukul 10.00 malam agar pelanggan kami dapat menikmati malam minggunya―bersama orang terdekat mereka―di sini. Tapi itu pasti membuatku iri. Hu-hu-hu…
Saat aku ingin bangkit, seseorang masuk. Dan aku sedikit terkejut melihat Irfana ada di hadapanku. Irfana langsung berlari dan memelukku. Irfana menangis tersedu-sedu.
“Ada apa, Fa?” tanyaku prihatin.
“Gue baru aja diputusin sama cowok gue. Hu-hu-hu..” Irfana menangis lagi.
“Nicky?” tanyaku, heran. “Si anak SMA itu?”
Irfana melepaskan pelukannya. Dia tidak dapat berkata-kata lagi. Air matanya masih menggenang di pelupuk matanya.
“Gue udah pernah bilang, kan? Jangan pacaran sama cowok yang lebih muda dari kita. Mereka, tuh, cocoknya jadi adik. Dan mereka itu masih kekanak-kanakkan, Fa. Belum bisa diajak serius.” Aku berusaha menghibur Irfana.
“Iya, gue inget. Tapi waktu itu gue pikir, gue bisa ngerubah Nicky untuk jadi lebih dewasa.” Kata Irfana sambil menatapku. “Gue sayang sama dia, Kar. Sayang banget!” Irfana kembali terisak.
Aku memeluknya sambil mengusap-usap bahu Irfana, mencoba menenangkannya.
“Ya udah, lo nangis aja sepuasnya. Luapin semua kekesalan lo.”
Irfana menangis lebih kencang dalam pelukanku. Aku hanya mengusap-usap bahunya tanpa berkata apa-apa. Setelah agak lama Irfana menangis tersedu-sedu, dia melepaskan diri dari pelukanku. Kemudian aku memberikan Irfana tissue untuk menghapus air matanya.
“Udah tenang?” tanyaku.
Irfana mengangguk.
“Eh, gue buatin hot chocolate ya,” kataku. “Kata orang, sih, cokelat bisa bikin pikiran tenang.” aku menarik tangan Irfana, mengajaknya keluar.
Irfana hanya diam hingga kami sampai di bar. Aku menyuruh Irfana duduk sementara aku membuatkan cokelat panas untuk sahabatku yang satu ini.
“Ini dia,” aku menaruh secangkir cokelat panas di bar.. “Ampuh sebagai obat penghilang stress.”
Irfana meminumnya perlahan-lahan. Setelah minum, dia meletakkan kembali cangkir itu di atas piring kecil. Terlihat wajah Irfana kembali ceria.
“Cokelatnya enak,” komentar Irfana.
Aku tersenyum puas. “Terima kasih,” ucapku. “Udah lebih tenang, kan, sekarang?”
“Emang benar kata lo, ampuh banget buat ngilangin stress.”
Aku tertawa. “Syukur, deh. Kalo gitu.”
“Karen, gue boleh bantuin lo nggak?” tanya Irfana.
“Hah?” aku mengerutkan kening.
“Gue bantuin jadi waitress hanya untuk hari ini, nggak usah dibayar.”
“Ya udah, ganti baju sana.” Suruhku. “Kebetulan gue bawa baju dua stel, lo pake aja punya gue. Ambil di tas gue”
“Oke, Bos!” Irfana mengacukan ibu jarinya sambil mengerlingkan sebelah matanya.
Aku kembali bekerja. Aku melayani para pelanggan yang baru datang, mencatat menu pesanan mereka, lalu memberikannya pada koki.
Tiba-tiba aku teringat pada Mr. Ganteng. Kira-kira dia datang lagi tidak ya? Aku melirik jam tanganku. Sudah pukul 9.00 malam. Pasti dia tidak datang, kalopun datang dia pasti pergi dari Kafe karena penuh. Hmm, Mr. Ganteng, aku pengen ketemu lagi. Aku harap kamu datang ke sini. Aku kembali bar, menyiapkan minuman untuk pesanan meja tiga. Kemudian aku membawakan pesanan itu ke meja tiga.
Tepat pukul 10.00 malam, Kafe tutup. Aku memasang tanda CLOSED di pintu Kafe lalu menguncinya. Dalam hati aku masih berharap Mr. Ganteng datang agar aku dapat bertemu dengannya. Aku menghela nafas panjang lalu aku meninggalkan Kafe karena Irfana sudah menungguku di parkiran. Setiap malam minggu, dia menginap di rumahku untuk menemaniku dan menghabiskan akhir pekannya bersamaku. Apalagi Irfana sedang patah hati jadi dia butuh seseorang untuk menemaninya―secara dia anak tunggal―saat ini dan seseorang itu adalah aku, sahabatnya. Karenina Putri. He-he-he.
* * *
Sudah pukul 12.00 malam aku dan Irfana belum tidur. Kami mengenang masa-masa kecil, sejak TK kami bersahabat. Sewaktu SD kami satu sekolah hingga SMP. SMA kami beda sekolah, hingga akhirnya kami dipertemukan kembali di unversitas dan jurusan yang sama. Persahabatan kami tak lekang oleh waktu walaupun pernah persahabatan kami hampir pecah karena masalah cowok. Kami menyukai cowok yang sama tapi akhirnya kami memutuskan untuk tidak saling menyakiti dan melupakan cowok itu. Sekarang kami berbeda dalam memilih cowok. Irfana menyukai cowok yang hitam manis, tinggi, dan sedikit gemuk. Sedangkan aku menyukai cowok manis, tinggi, dan putih seperti Mr. Ganteng.
Ngomong-ngomong soal Mr. Ganteng, aku teringat akan surat kemarin. Aku langsung mengambil diaryku dari dalam laci mejaku kemudian membuka halaman dimana aku menempel surat itu. Aku menyerahkan diaryku pada Irfana, Irfana menerimanya dengan heran.
“Kemarin, ada yang ngirim surat itu. Dia pelanggan baru di Teens Kafe.” Kataku saat Irfana membaca surat itu.
“Mr. Ganteng?” tanya Irfana.
Aku mengangguk. “Gue ngasih julukan itu, karena gue nggak tau namanya. Lagipula dia juga ganteng, kok.”
“Masa, sih, dia seganteng itu? Jadi penasaran gue.” Irfana menutup diaryku.
Aku tertawa. “Tapi itu jatah gue ya. Jangan diambil.”
“Nggak, nggak.. Gue masih tetap nyari brondong. He-he.” Irfana tertawa konyol.
“Ck, ck, ck,” aku berdecak. “Dasar lo, penyuka brondong. Kalo gue, sih, anti banget!”
“Jangan gitu, lho, nanti lo ke makan omongan lo sendiri. Baru tau rasa.”
“Hhhh, nggak bakal! Gue nggak level sama brondong.”
“Ya sudah, terserah. Gue pegang kata-kata lo, ya, Karen.” Kata Irfana sambil menarik selimut hingga pundaknya. “Gue tidur duluan, ya.”
Hmm, benar juga. Jangan sampe, deh, aku kemakan omonganku sendiri. Kira-kira Mr. Ganteng umurnya berapa ya? Di atas aku atau di bawahku? Aku menerawang jauh, mencari tahu umur Mr. Ganteng berapa? Hhhh, entahlah yang penting aku harus ketemu Mr. Ganteng lagi. Aku menguap dan segera menarik selimutku. Aku memejamkan mataku dan tertidur pulas.
* * *

0 komentar:

Posting Komentar