1.
My Activity
“Renaaaa…” seruku tak sabar. Aku berkali-kali memandangi arlojiku. “Cepet turun!”
“Iya, Kak. “sahut Rena. “Sebentar lagi.”
Aku menghela nafas. “Lihat, kan, Bi. Rena kesiangan lagi.” Ucapku pada Bibi Minah.
Bibi Minah hanya mengangguk. “Maaf, Non. Padahal semalam saya sudah menyuruh Non Rena tidur, tapi Non Rena masih asyik nonton film Korea itu lho, Non.”
“Nonton film Korea?” aku mengernyitkan keningku.
“I-iya, Non.” Jawabnya. “Apa, ya, judulnya?” Bi Minah sibuk mengingat-ingat judul film Korea itu. “Boy―”
“Boys Before Flower, Bi.” Potong Rena sambil menuruni tangga.
Aku hanya menggelengkan kepala mendengar judul film Korea itu. Kemudian aku menghampiri Rena. “Ayo, berangkat!”
“T-tapi, Kak, aku belum sarapan.” Rena memegang perutnya.
“Salah sendiri bangun siang.” Ucapku kesal.
“Maaf-maaf,” Rena menunduk.
“Ya udah, kita nggak punya waktu banyak.” Aku meraih tasku lalu melangkah keluar.
“Cepet, malah diam.” Aku membelalakan mataku.
Rena langsung menyusulku sambil menggerutu. ‘Ih, galak banget! Lagi sensitif kali ya dia? Makanya nggak ada cowok yang mau deketin Kak Karen, takut diomelin terus sih. Hi-hi-hi.’ Rena senyum-senyum sendiri, lalu Rena masuk ke mobil.
Aku menyalakan mesin mobil dan langsung melesat meninggalkan rumah. Aku melihat Rena memegangi perutnya daritadi. Kasihan juga, sih, ngeliat Rena kelaparan. Nanti dia nggak bisa konsentrasi belajar karena perutnya kosong. Aku teringat kalo sarapanku pagi ini tidak aku makan―rencananya akan kumakan saat di kampus―ada di dalam tas.
“Ren, kamu lapar?” tanyaku.
Rena mengangguk. “Banget, Kak.”
Aku tersenyum. “Coba kamu ambil tas Kakak, deh.”
Rena meraih tasku yang ada di kursi belakang. “Udah, Kak.”
“Kamu keluarin tempat makannya.” Suruhku.
Rena mengeluarkan tempat makan warna ungu―warna favoriteku―dari dalam tas.
“Kamu makan aja nasi goreng Kakak.” Kataku. “Biar kamu nggak lapar lagi.”
Rena memandangku. “Terus Kakak? Makan apa?”
Aku tertawa. “Kamu nggak usah khawatir, Ren. Kakak bisa makan di kantin kampus.” Aku memandang Rena sebentar, lalu kembali fokus ke stir mobil.
Rena masih terdiam. Dia belum membuka tempat makanku.
“Kok, belum di makan?”
“Makasih, ya, Kak.” Ucap Rena.
“Untuk?”
“Untuk nasi gorengnya.” Rena tersenyum.
“Iya, sama-sama.”
Akhirnya Rena membuka tutup tempat makan itu, lalu memakannya.
‘Walaupun galak, tapi Kak Jasmine baik hati.’ Batin Rena.
* * *
Lima belas menit kemudian, mobilku tiba di depan pintu gerbang sekolah Rena. Kulihat kedua sahabatnya, Mitha dan Putri sudah menunggu Rena. Rena mencium kedua pipiku lalu turun dari mobil.
“Belajar yang benar, Ren.” Pesanku.
“Iya, Kak.”
“Kalian juga, ya.” pesanku kepada dua sahabat Rena itu.
“Baik, Kak Karen.”
“Ya udah, Kakak berangkat dulu ya.” kataku sambil menutup jendela.
“Dagh..” Rena melambaikan tangannya.
Aku menjalankan mobilku, meninggalkan sekolahan itu. Aku menambah kecepatan mobilku agar bisa mengejar waktu kuliahku. Jarak sekolah Rena ke kampusku sangat jauh sekitar tiga puluh tiga kilometer. Bisa kutempuh selama tiga puluh menit tanpa hambatan―terutama macet―di jalan.
* * *
Lima menit lagi, kuliah dimulai. Untungnya aku sudah memasuki wilayah kampusku. Aku segera keluar dari mobil, menguncinya, lalu berlari menuju ruang kuliahku yang berada di lantai dua. Mata kuliah hari ini, Manajemen Pemasaran Lanjut yang diajarkan oleh Pak Iman. Banyak yang bilang Pak Iman ini galak dan sangat disiplin saat mengajar. Beliau suka mengeluarkan kata-kata pedas pada kami jika kami tidak mengikuti materi hari ini. Dan satu lagi, ON TIME banget! Jadi untuk hari ini, tamat riwayatku! Aku bakal dilarang masuk oleh Pak Iman dan aku dinyatakan tidak masuk―yang nyata-nyatanya aku datang―mata kuliahnya.
Aku terengah-engah. Aku berhenti sejenak untuk mengatur pernafasanku yang tidak stabil ini. Aku menangkap sosok Pria bertubuh tinggi, sedikit gemuk berjalan dari arah berlawanan. Pria itu semakin mendekat dan semakin terlihat siapa dia.
“HAH? Pak Iman?” aku membelalak kaget. Segera aku memasuki ruangan sebelum Pak Iman. Setidaknya riwayatku tidak tamat hari ini. Kulihat Irfana melambaikan tangannya agar aku mengambil tempat duduk di sebelahnya.
“Selamat Pagi, anak-anak.” Pak Iman memasuki ruangan.
“Pagi, Pak.” Balas semua Mahasiswa dalam ruangan itu.
Aduh, jangan-jangan aku bakal kena kata-kata pedasnya itu sekarang. Pasti dia nyindir aku habis-habisan. Debar jantungku menjadi dua kali lebih cepat dari biasanya. Irfana heran melihatku yang sedikit resah.
“Karenina?” Pak Iman memanggilku.
Aku tersentak. Tuh, kan, benar. Pak Iman pasti mau marahin aku. Keringat dingin hinggap di tubuhku.
“Karenina?” panggilnya sekali lagi.
Irfana menyikutku. “Ren, lo dipanggil Pak Iman.” Bisiknya.
“I-iya, Pak.” Aku tergagap.
“Sini sebentar,” katanya.
Dengan perlahan aku berdiri dari kursi, keluar dari barisanku, dan berjalan menuju meja Dosen sambil menundukkan kepala.
“Tolong hapus tulisan di papan tulis,” Pak Iman menyodorkan penghapus padaku.
Aku tersentak kaget, dan segera menoleh. Pak Iman tidak memarahiku? Ahhaaai, selamat kalo gitu.
“Ayo, cepat. Malah bengong.” Pak Iman menurunkan kacamatanya sampai ke hidungnya.
“I-iya, Pak,” aku langsung meraih penghapus dan segera menghapus semua tulisan di papan tulis. Setelah papan tulis bersih, aku menaruh penghapus di meja.
“Terima kasih,” ucap Pak Iman.
“Sama-sama,” aku melangkah kembali ke bangkuku.
Aku bersyukur karena aku tidak mendapatkan kata-kata ‘manis’ dari Pak Iman. Kemudian aku mengeluarkan perlengkapan kuliahku saat Pak Iman mulai bercuap-cuap di depan ruangan. Aku dan Irfana benar-benar menyimak materi yang diajarkan hari ini padahal perutku sudah ber’keroncongan’ terus. Aku terus berusaha menahan dan melupakan rasa lapar ini hingga mata kuliah Manajemen Pemasaran Lanjut selesai. Selagi aku menulis materi di papan tulis, tiba-tiba Irfana menyodorkan sebuah kertas―yang berisi pesan―padaku.
Karen, nanti makan di mana?
Aku segera menulis balasan untuk Irfana. Nggak tau, nih. Terserah lo deh, Fa. Aku mengembalikan kertas itu ke Irfana.
Ya udah, kita makan di kantin aja.
Oke.
Irfana langsung meremas kertas itu ―sehingga menjadi sebuah bola kertas―karena takut ketahuan Pak Iman. Bisa-bisa kami nanti diberi ucapan-ucapan ‘manis’ darinya.
Aku melirik arlojiku. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 pagi. Perutku semakin keroncongan, dan Pak Iman belum menyudahi kuliah hari ini. Aku sudah tidak dapat menahan rasa lapar ini. Aku mulai keringat dingin, badanku gemetar, dan kepalaku pusing. Lama sekali sih, Pak Iman? Ayo, dong, Pak buruan. Saya lapar nih.
“Baik, cukup sekian kuliah hari ini.” Pak Iman berjalan ke mejanya.
“YEEEESSSS!!” aku melonjak kegirangan―dari tempat duduk.
Akhirnya, kuliah selesai juga. Aku terdiam, aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Kini semua mata tertuju padaku. O,o what I’ve done? ME-MA-LU-KAN!!!! Warna merah langsung menghiasi wajahku. Dengan cengingisan aku kembali duduk sebelum sorakan dari teman-teman menggema di ruangan. Kulihat Pak Iman hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aneh. Tumben-tumbenan Pak Iman diam aja, enggak marah-marah?
“Buseeet, semangat banget, sih, lo?” tanya Irfana sambil membereskan buku-bukunya, lalu memasukkannya ke tas.
“He-he, laper banget nih.” Aku memegang perutku.
“Ya udah, ayuk, kita ke kantin.” Ajak Irfana.
Tanpa basa-basi lagi, kami segera meninggalkan ruang kuliah.
Begitu tiba di kantin─dengan suasana yang sangat ramai─aku dan Irfana mengambil tempat duduk dekat tangga. Aku melambaikan tangan, memanggil tukang soto ayam.
“Soto ayam dua, nggak pake santan ya, Jo.” Kataku pada Bejo.
“Baik, Mbak,” ucapnya. “Oh iya, minumnya apa?”
“Es jeruk aja, deh,”
Bejo hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan meja kami.
Sepuluh menit kemudian Bejo datang sambil membawa pesanan kami, kami langsung menyantap makan siang. Dengan lahap aku menikmati soto ayam─makanan favoritku─karena perutku sudah ‘meronta’ minta makan. Setelah kami menghabiskan makan siang, kami segera membayar dan pergi dari kantin.
Tiba-tiba, aku mendapat telepon dari Om Bagas agar aku segera ke Kafenya sekarang.
“Fa, gue nggak masuk ya mata kuliah Etika Bisnis.”
“Kenapa?”
“Tadi Om gue nelepon, gue di suruh ke Kafe sekarang.” Aku mencium pipi kanan dan kiri Irfana.
“Ya udah, hati-hati ya.” Irfana melambaikan tangan saat aku meninggalkannya.
Aku berlari menuju parkiran mobil. Aku belum terbayang apa yang terjadi di kafe saat ini. Dan aku segera masuk ke mobil lalu menjalankan mobilku meninggalkan area kampus.
* * *
Dua puluh menit kemudian, aku sampai di Teens Kafe. Aku mendorong pintu kaca dengan suara dentingan loceng dan suara lagu langsung menyerbu. Aku buru-buru mencari Om Bagas ke ruangannya. Aku mengetuk pintu dan suara Om Bagas terdengar dari dalam, menyuruhku masuk.
“Ada apa, Om?” tanyaku setelah aku masuk ke ruangannya. “Sepertinya ada yang mendesak?”
“Karen, Om minta tolong.” Ucap Om Bagas.
“Apa, Om?”
“Om besok mau ke Australia jenguk Regina. Jadi kamu gantiin tugas Om, ya?” Om Bagas memandangku, penuh harap. “Hari Senin Om pulang, kok.” Tambahnya.
“Baik, Om. Kebetulan besok saya nggak ada kuliah jadi saya bisa gantiin Om.”
“Soal gaji, nanti saya kasih bonus kamu dua puluh persen.”
Aku terbeliak. Dua puluh persen? Banyak sekali. Kapan lagi aku dapat bonus? He-he-he.
“Makasih banyak, Om Bagas.” Ucapku.
“Sama-sama,”
Aku melangkah keluar dari ruangan Om Bagas dengan hati riang dan wajah berseri-seri. Tra la la..
Kemudian aku masuk ke kamar mandi karyawan untuk berganti kaus hijau dan celemek putih Teens Kafe. Aku mengikat tinggi rambutku, lalu memakai bandana putih sebagai penghias di kepalaku. Ketika aku keluar, aku langsung menaruh barang-barangku di loker nomor 21 setelah itu aku bersiap untuk bekerja.
Teens Kafe sering didatangi oleh anak-anak muda―mulai dari SMA hingga kuliah―setiap harinya. Tempatnya yang cozy dan nyaman membuat mereka ‘terhipnotis’ untuk datang ke kafe ini terus. Fasilitasnya lengkap, member card juga disediakan untuk para pelanggan dengan potongan lima hingga sepuluh persen―setiap pembelian di atas seratus ribu rupiah.
Teens Kafe tidak begitu ramai, dan tidak begitu sepi. Satu―tiga waitress bolak-balik mengantar pesanan pada pelanggan. Aku belum kebagian kerjaan hari ini dan aku menunggu di tempat perkumpulan karyawan. Saat aku sedang bersantai, Anjani―salah satu karyawan―menyuruhku untuk melayani seorang pelanggan baru. Menurut mereka aku ini bagaikan senjata ampuh untuk menarik pelanggan agar datang ke Teens Kafe lagi. Aku punya daya tarik tersendiri dari mata karyawan lainnya. Pertamanya, aku menolak namun kata Anjani pelanggan baru itu seorang cowok, aku langsung menjalankan tugasku.
“Selamat datang di Teens Kafe.” Ucapku dengan lembut. “Mau pesan apa?” aku menyerahkan daftar menu padanya.
Cowok itu menoleh ke arahku, lalu tersenyum. Kemudian dia membaca ―dengan seksama― daftar menu itu. Aku mengamati cowok itu. Manis. Lumayan juga. Beruntung sekali aku menjadi orang pertama yang melayani pelanggan baru ini yang supeeer manis dan kiyut.
“Saya pesan Lasagna Al Forno dan Lemon Squash.” Katanya sambil menyerahkan daftar menu itu.
Aku mencatat pesanannya, lalu membacakannya untuk koreksi. “Baik, harap tunggu sebentar.” Aku melangkah dari meja itu, sambil tersenyum senang.
“Eh, Mbak. Tunggu.” Panggil cowok itu.
Aku melangkah kembali ke mejanya. “Ada apa?”
“Nggak pake lama, ya.” katanya sambil mengerlingkan mata padaku.
Aku tersenyum geli, “Baik, Mas.” Aku beranjak dari situ.
Setelah pesanan cowok itu siap aku langsung mengantarkan kepadanya.
“Ini pesanannya, Mas.” Aku meletakkan semua pesanan di atas meja.
“Terima kasih.” Ucap cowok itu.
Aku meninggalkan meja si pelanggan baru itu dan meletakkan baki ketempatnya semula.
Setelah si pelanggan baru itu selesai makan, dia segera membayar di kasir. Lalu dia melangkah keluar dari Teens Kafe. Aku memandanginya hingga dia tidak terlihat lagi.
Hhhh, semoga dia datang ke Teens Kafe lagi. Aku membereskan meja si pelanggan baru itu lalu aku menemukan secarik kertas di atas meja.
Nice to meet you, Karenina. See you next time..
Pesan itu membuatku menjadi seperti bersayap dan terbang tingiiiiiii sekali hingga ke awan. Hatiku dipenuhi bunga yang bermekaran sangat indah dan pelangi menghiasi latar belakangku. Dia tahu namaku? Oh, pasti dia melihat di name tag-ku. Oooh, betapa bahagianya aku. Aku mencari nama pengirim tapi aku tidak menemukannya. Aku sedikit kecewa dan sedih. Hhh, baru kali ini aku dikagumi oleh pelanggan Teens Kafe. Semoga kita ketemu lagi, Mr. Ganteng. Aku membekap surat itu sambil membayangkan betapa manisnya si pelanggan baru itu alias Mr. Ganteng.
“Dooooor!” seseorang mengejutkanku dari belakang.
HAH!!! Aku tersadar dari lamunanku. Dengan kecepatan 250 km/jam aku terenyak ke bumi. Semua keindahan yang ada hilang sudah dan berganti menjadi pemandangan Teens Kafe yang cukup ramai. Aku menoleh ke arah datangnya suara, dan … OMG!! RENA!!! Aku langsung menyimpan kertas itu di kantong celemek agar Rena tidak membaca pesan itu.
“Re-Rena?” aku gelagapan.
“Kakak ngelamunin apa, sih, sampe senyum-senyum gitu?” Rena tertawa geli.
“Oh, ng-nggak mikirin apa-apa.”
Rena manggut-manggut. “Kak, aku pesan Cappucinno Latte ya?”
“Pesan aja ke Anjani,” suruhku sambil meneruskan pekerjaanku.
Rena langsung melangkah ke bar dan memesan Cappucinno Latte. Lalu Rena duduk di bangku sambil menunggu pesanannya jadi. Aku berjalan menuju dapur sambil membawa piring kotor, sendok dan garpu kosong, serta gelas kotor. Kemudian aku bergabung dengan teman-temanku di bar.
“Rena, tumben kamu ke sini?” aku duduk di kursi sebelah Rena.
“Tadi temen aku ke sini, aku pengen nyusul. Eh, tapi aku telat dia udah keburu pulang.” Jawab Rena.
“Temen atau temen?” ledek Anjani sambil menaruh Cappucinno Latte milik Rena.
Wajah Rena merona. “Temen, kok.” Rena meraih gelas Cappucino Latte dan meminumnya.
Anjani tertawa geli melihat tingkah Rena―antara malu karena diledekin dan takut padaku.
“Cewek atau cowok?” tanyaku.
“Cowok, Kak. Dia gebetan aku.”
Aku menghela nafas panjang. “Kamu, tuh, genit banget. Pake acara nyusul ke Kafe segala, sih.” Kataku dengan ketus.
“Abis di sekolah dia susah banget aku deketin, jadi saat aku tau dia mau ke sini aku punya kesempatan untuk ngobrol sama dia.”
“Setau aku, pelanggan cowok yang datang ke sini banyak.” Kataku. “So, aku nggak tau yang mana temen kamu.”
“Nggak papa, kok. Emang belum rejekiku untuk ngobrol sama dia.” Rena mengembuskan nafasnya dan terpancar kekecewaan di wajah Rena.
Tepat pukul 9.00 malam, kafe ini tutup. Semua karyawan sudah berada di luar dan aku siap mengunci pintu Teens Kafe. Rena menurunkan tirai jendela, sementara aku mengecek semua baik-baik saja, mulai besok aku menjadi pemimpin sementara Kafe ini selama Om Bagas ke Australia. Setelah menurutku semua aman terkendi kami keluar dari Kafe, mengunci pintu Kafe dan menutupnya dengan rolling door. Aku dan Rena segera masuk ke mobil dan segera menjalankan mobilku meninggalkan Kafe.
* * *
Saat aku hendak membuka pintu rumah, hapeku berdering. Aku segera menjawabnya.
“Iya, kenapa, Fa?”
“Kar, besok pergi, yuk?” ajak Irfana di seberang sana.
“Aduh, nggak bisa.” Kataku. “Gue harus gantiin tugas Om gue, dia lagi jenguk anaknya di Australia.”
“Yah, sayang banget. Padahal gue mau ngajak lo nonton film terbaru gue.”
Aku mengerutkan kening. “Film terbaru lo? Emang lo main?”
“Bukan, bukan, maksud gue, film yang baru gue beli.” Irfana meralat kata-katanya.
“Ooo, gue kira lo main di film itu.” aku membuka pintu dan berjalan masuk ke kamarku.
“Ya udah, besok gue main aja di Teens. Boleh,kan?”
“Jelas boleh, dong, Fa.”
“Oke kalo begitu,” ucap Irfana. “Udah dulu, ya? See you tomorrow.. Bye” Irfana mematikan hapenya.
Aku meletakkan hapeku di atas meja. Kemudian aku mandi, membersihkan kotoran-kotoran dan debu-debu yang menempel di tubuhku.
Setelah mandi, aku baru ingat bahwa aku masih menyimpan surat tadi di celemekku. Aku mengeluarkannya dari dalam celemek, lalu memberikan lem di sisi belakang kertas itu, dan menempelkannya dalam diaryku. Di atas kertas itu, aku menuliskan tanggal hari ini dan di bagian bawah kertas aku menuliskan ‘Surat dari Mr. Ganteng’. Aku menutup kembali diaryku dan aku memutuskan untuk tidur, karena besok aku harus bekerja dari pagi hingga malam.
“Welcome to my dream, Mr. Ganteng,” gumamku sambil menarik selimut.
* * *
Februari 15, 2010
Pacarku Umur 17 tahun Part 1
Diposting oleh Prita Hayu Andani di 19.17
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar