Februari 28, 2010

CV

Curriculum Vitae

Full Name :Prita Hayu Andani
Date of Birth : October, 21st, 1988
Place of Birth : Semarang
Age : 21 years old
Nationality : Indonesian
Address :Bukit Cengkeh II Blok H2 No: 1, rt 007/016 Kelurahan Tugu, Cimanggis Depok 16951
Phone : 085710531046
Marital Status : Single
Religion : Christian

Formal Education :
1992-1994 : Kartika XII Kindergarten, Jakarta Timur
1994-1998 : St. Ign. Slamet Riyadi Chatolic Elementary School Jakarta
1998-2000 : 11 Elementary school, Manado
2000-2001 : 1 junior High School, Manado
2001-2003 : 4 Junior High School, Denpasar
2003-2006 : St Ign. Slamet Riyadi Chatolic Senior High School, Jakarta
2006-present: Gunadarma University- Economy Management

Non-Formal :
English Course (ILP, 2002)
English Course (IEC, 2006)

Februari 22, 2010

pacarku umur 17 tahun part 5

5.
SHOCKING DAY!
Di Kampusku…
Seusai kuliah Manajemen Investasi, aku menceritakan seluruh kejadian kemarin pada Irfana saat berjalan menuju kantin. Saking bersemangat―semangat ‘45―aku bercerita, aku menabrak seseorang di belakangku karena aku berjalan mundur. Semua dokumen yang berada dalam dekapan orang itu berhamburan. Aku terbelalak kaget dan menutup mulutku. ASTAGA!!! What I’ve done??? Langsung aku membungkuk, memungut kertas-kertas itu, lalu memberikannya pada cowok itu. Aku meminta maaf padanya dan dia melangkah pergi. Irfana, yang menyaksikan kejadian barusan, masih tertawa geli sambil membekap mulutnya. Aku menatapnya kesal.
“Udah, ah, jangan ketawa lagi.”tegurku pelan.
Irfana berusaha mengendalikan dirinya, dan akhirnya Irfana berhenti tertawa. Kemudian aku mengambil duduk dekat tukang bakso, disusul oleh sahabatku.
“Oh iya, gimana sama si Mr. Ganteng? Ada kemajuan nggak?” tanya Irfana sambil melambaikan tangan, memanggil penjual nasi goreng.
Sementara Irfana memesan makanan, aku hanya menunduk dan memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Irfana. Gimana, ya? Sepertinya, sih, hanya jalan di tempat untuk saat ini. Semalam aja, Eldo nggak balas SMSku, nelepon nggak jadi. Gimana mau ada perkembangan kalo kayak gitu terus? Atau aku SMS dia duluan kali, ya? Aku harus ngomong apa? Aku bingung.
“Eh, gimana?” tanya Irfana sekali lagi. “Ada perkembangan nggak?”
Aku mengangkat bahu. “Entahlah.”
“Kok, entahlah? Dia ngerjain lo?”
Aku hanya menggeleng pelan.
“BTW, dia kuliah dimana?”
KULIAH???? Aku sama sekali belum menanyakan hal itu.
“Ifa, gue belum tau apa-apa tentang dia. Jadi jangan tanya apapun soal dia. Oke?” kataku, sedikit ketus.
Irfana mengangguk.
“Sori, ya, Fa. Gue nggak bermaksud bentak lo.” Aku merasa bersalah sudah bicara ketus pada Irfana.
“Iya, nggak pa-pa. Gue ngerti.” Irfana tersenyum.
“Lo emang sahabat yang superrr pengertian.”
Irfana tersipu dan kami pun tertawa.
Makan siang datang. Dengan sumringah aku menyambut kedatangan nasi goreng ayam spesial telur ceplok. Aku memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutku.
“Oh iya, gimana kabar Nicky?” tanyaku.
“Dia ngajak balik lagi, Kar.” Jawab Irfana dengan nada pelan.
Aku membeliak, “Ngajak balik? Nggak salah?”
Irfana menggeleng. “Kemarin dia nelepon gue dan sekarang dia mau ngajak gue pergi.”
“Kemana?”
“Ke Teens Kafe.”
Aku termanggut-manggut. “Oh, tapi hari ini gue lagi nggak kerja.” Aku melahap satu sendok terakhir nasi goreng.
“Sayang banget, padahal gue mau nraktir lo.”
“Ye, gue nggak usah ditraktir di sana. Cukup di Hanamasa aja.” Aku tersenyum konyol.
“BUSEEET!! Hanamasa?? Gila kali lo, ya.”
Aku tertawa, “Ya ampun, bercanda kali.”
“Tapi kapan-kapan kalo lo udah punya cowok, kita double date di Hanamasa. Gimana?” Ajak Irfana.
“Boleh,”
Tiba-tiba hapeku menjerit dari dalam tas. Aku segera mengambilnya. Aku melongo melihat nama Eldo a.k.a Mr. Ganteng muncul di layar. Irfana heran melihatku dan bertanya ‘telepon dari siapa?’
“Eldo,” bisikku.
“Angkat, angkat.” Suruh Irfana.
“Halo?”
“Kok, baru diangkat?” tanya Eldo.
“Maaf, tadi lagi di toilet.” Aku berbohong, menyembunyikan perasaanku yang bahagia karena Eldo meneleponku.
“Oh. Nanti aku jemput kamu, ya, di kampus.”
“Jemput?”
“Iya,” jawab Eldo. “Kamu nggak bawa mobil, kan?”
“Kebetulan nggak,”
“Ya udah, nanti kamu keluar jam berapa?”
“Jam setengah empat,”
“Oke, aku jemput kamu, ya?”
“I-iya,”
“Dah, cantik.” Eldo menutup pembicaraan kami.
Aku meletakkan hapeku di meja. Aku terdiam dan menatap Irfana. Lalu aku tersenyum senang dan memegang dadaku.
“Ada apa?”
“Eldo mau jemput gue, Fa.”
“Wah, bagus, dong.” Irfana ikut merasakan kebahagiaanku.
Aku menghela nafas. Membayangkan saat Eldo menjemputku di kampus. Pasti semua mata menatap kami, khususnya para gadis yang pastinya iri melihatku dijemput oleh ‘makhluk’ seganteng Eldo.
“Heh, senyam-senyum sendiri. Kumat, deh, gilanya.” Irfana menggugahku.
Aku tersentak. Kemudian Irfana menggendong tasnya dan bangkit dari bangku. Aku pun melakukan hal yang sama. Dan kami pergi meninggalkan kantin menuju ruang kuliah selanjutnya. Tak sabar ingin bertemu Eldo. Aku mulai khusuk berdoa, semoga kuliah selanjutnya cepat selesai. Amin.
* * *
Di Sekolah Irfana…
Hari ini, Rena ingin mengajak Eldo ke Teens Kafe. Karena Rena tahu kalau Eldo sering datang ke Teens Kafe. Sewaktu istirahat, Rena, Mitha, dan Putri makan di kantin. Tak lama kemudian, Eldo memasuki kantin. Semua siswi berteriak histeris dan membuat Rena menghentikan makannya. Rena menatap Eldo―yang mengambil duduk bersama teman-temannya―tanpa berkedip. Hati Rena melompat-lompat kegirangan karena sang pujaan hati datang. Niat untuk mengajak Eldo pergi ke Teens Kafe semakin bulat.
“Eh, gue ke Eldo dulu, ya.” Rena bangkit dan berjalan ke meja Eldo.
Mitha dan Putri hanya memantau dari tempatnya.
“Hai,” sapa Rena, saat sampai di meja Eldo.
“Eh, Rena.” ucap Nicky. “Duduk,”
Rena menggeleng, “Nggak usah, Nick. Gue berdiri aja.”
“Ya udah,” Nicky kembali sibuk menyantap makan siangnya.
Eldo melihat Rena, “Ada apa, Ren?”
“Ng, nanti pulang sekolah gue mau ngajak lo ke Teens Kafe. Bisa nggak, Do?”
‘Teens Kafe? Itu, kan, tempat Karenina kerja? Berarti gue harus cari tempat lain untuk kencan.” Batin Eldo.
“Do?” Rena menepuk bahu Eldo.
“Wah, maaf, gue udah ada janji.”
Keyakinan Rena berhasil mengajak Eldo pergi merosot tajam. Rasa kecewa menggelayuti wajah Rena.
“Oh, ya udah, nggak pa-pa.” Rena mengangguk, hanya menyembunyikan apa yang dia rasakan. “Lain kali aja kalo gitu. Makasih, Do.” Rena melangkah gontai, kembali ke mejanya.
Mitha dan Putri mengerutkan kening bersamaan, saat Rena kembali dengan wajah cemberut. Rena duduk lalu menopang dagu.
“Kenapa, lo?” tanya Mitha, heran.
“Eldo nolak ajakan gue,” jawab Rena.
Mitha dan Putri saling bertukar pandang.
“Ya udahlah, lain kali, kan, masih bisa.” Hibur Putri.
“Iya,” sahut Rena. “Eh, ke kelas aja, yuk.” Rena bangkit dan ngeloyor lebih dulu.
Mitha dan Putri menyusulnya dari belakang. Kalau sudah jengkel, Rena biasanya selalu meninggalkan sahabat-sahabatnya dengan wajah yang ‘menyeramkan’. Kelakuan Rena tergolong kekanak-kanakan, cepat ngambeg jika ada sesuatu yang tidak dia inginkan.
“SIAAL!” gerutu Rena, di toilet. “Aku gagal ngajak Eldo pergi.” Rena menatap bayangan diri di cermin. “Apa yang salah dari aku? Kayaknya Eldo nggak tertarik sama aku. Apa yang kurang dariku?”
Rena menghela nafas panjang dan tidak habis pikir kenapa Eldo bersikap biasa saja padanya. Apa yang Rena lakukan untuk Eldo, tidak berarti apa-apa di mata Eldo. Andai saja Eldo kasih sedikit waktunya untuk Rena, pasti Rena akan mengutarakan perasaannya pada Eldo.
“Jangan-jangan, Eldo udah punya cewek?” Rena menatap tajam bayangan dirinya. “Aku harus cari tahu, siapa cewek itu.” Rena beranjak dari kamar mandi, setelah bel masuk berbunyi.
* * *
Di Kampusku…
Aku dan Irfana menunggu Eldo tiba di bawah pohon rindang―DPR. DPR adalah salah satu tempat para mahasiswa bertemu dengan teman-temannya atau hanya sekedar duduk. Hawanya sangat sejuk ditambah angin semilir menyejukkan kalbu. Wuuih, betah banget.
“Eh, itu mereka datang.” Kata Irfana sambil menudingkan telunjuknya.
Aku menoleh dan segera mengikuti arah yang ditunjuk Irfana. Sebuah mobil Yaris berwarna Silver memasuki area kampus. Aku menyipitkan mata, berusaha untuk melihat siapa yang ada di dalam mobil itu. ASTAGAA!! Eldo keren banget, sih!! Jantungku berdebar makin kencang, perutku tegang, dan aku tak mampu mengedipkan mataku.
Nicky turun dari mobil dan menghampiri Irfana. Kemudian Nicky mengecup pipi Irfana. Hmphf!
Aku menyerongkan tubuhku saat pintu mobil ditutup. Aku membelalakan mataku, jantungku terhenti seketika, dan tak bisa bicara sedikitpun. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Aku mengerlipkan mataku berulang kali―untuk meyakini apa yang ada di depanku. Eldo memakai seragam SMA. SE-RA-GAM S-M-A. Eldo masih SMA-kah? Oh My GOD!!!!
“Hai?” sapa Eldo.
“Hai, Do.” Balas Irfana, sambil menyikutku.
Aku tersentak dari lamunanku. “Eh, h-hai.”
“Berangkat sekarang, yuk?” ajak Nicky.
“Ayuk,”
Aku masih terdiam. Apakah yang kulihat ini kenyataan atau mimpi? Cowok yang aku suka ternyata masih SMA? Dan aku sudah berjanji untuk tidak pacaran dengan cowok yang lebih muda.
“Karen?” Irfana menyadarkanku.
“Eh, I-ya.” aku tergagap. “Kenapa?”
“Ayo, kita mau berangkat.” Jawab Irfana sambil menggenggam tangan Nicky.
Aku bangkit dan berjalan menuju mobil. Eldo yang menyetir mobil dan Irfana menyuruhku agar aku duduk di depan.
Saat perjalanan menuju tempat kencan, aku masih merenungkan apa yang kulihat ini. Aku menyukai Eldo. Sangat! Tapi Eldo masih muda dan aku tak mungkin memakan omonganku sendiri.
“Karen, kamu sakit?” tanya Eldo.
Aku menggeleng pelan.
“Grogi kali ketemu lo, Do” ledek Irfana.
Aku hanya tersenyum kecil. Huh, aku mulai ragu sekarang. Hati nurani mulai bergejolak hebat tentang perasaan ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Eldo masih berseragam SMA, dan bisa kuperkirakan umurnya pasti sepantaran Rena, tujuh belas tahun. TU-JUH BE-LAS TA-HUN!!!! Umurku terpaut tiga tahun dan dia lebih pantas jadi adikku, bukan pacarku. OH NOOOO!!!
Tapi enggak ada salahnya, kan, aku pacaran sama Eldo. Mungkin aja pacaran sama brondong membawa kesenangan tersendiri. He-he-he. But, wait a minute! Eldo sekolah di mana, ya? Aku harus tanya hal ini.
“Do,” panggilku. “Kamu sekolah di mana?” aku tak berani menatapnya.
“Aku sekolah di SMA Bina Satria,”
HAH!!! Itu, kan, sekolah adikku, Rena.
“Kenapa?”
“Eng-nggak apa-apa.” Aku menggelengkan kepala. “Kamu kenal Rena?”
“Tentu aja kenal. Rena, kan, siswi tercantik di sekolah. Pintar lagi.” jawab Eldo.
Waaaa, jangan-jangan Eldo suka sama Rena? Masa aku bersaing dengan adik sendiri? Enggak masuk di akal.
“Kok, kamu tau Rena? Kenal di mana?” tanya Eldo.
“Di-dia, kan, adikku.”
“Oh ya?”
Aku menganggukkan kepala.
Eldo tertawa kecil. “Pantes, adiknya aja cantik. Apalagi kakaknya.”
Eldo membuatku tersipu dan merona.
“Ciiee, jangan tinggi-tinggi terbangnya.” Ledek Irfana.
Nicky dan Eldo tertawa. Aku hanya terdiam. Jangan-jangan di sekolah, Eldo melakukan pendekatan ke Rena? Jangan-jangan ini Eldo itu gebetan Rena? Jangan-jangan Eldo deketin aku karena dia pengen deketin Rena? Jangan-jangan…. Jangan-jangan….. Kata jangan-jangan memenuhi kepalaku.
* * *
Aku tak mau memakan omonganku dan aku tak mau menyakiti adikku. AAAARRRGH!!! Hilang semua mimpiku untuk mendapatkan Mr. Ganteng. Musnah sudah perasaanku. Kecuali, aku tetap menjalani hubunganku diam-diam alias backstreet dari Irfana dan Rena tentunya.
* * *

pacarku umur 17 tahun part 4

4.
Eldo a.k.a Mr. Ganteng
Di Teens Kafe…
Hari ini aku hanya ada satu mata kuliah. Seusai kuliah aku langsung melesat ke Teens Kafe untuk bekerja. Segera aku berganti pakaian ‘dinas’ku, menaruhnya dalam loker setelah itu aku siap bertugas. Tak lama kemudian, aku mendengar bel pintu berdenting. Kulihat Mr. Ganteng melangkah masuk dan duduk dekat jendela. Jantungku berdegup dengan kencang saat Mr. Ganteng melambaikan tangannya padaku. Aku melangkah menuju mejanya untuk mencatat pesanannya.
“Selamat siang,” sapaku, sambil tersenyum. “Mau pesan apa, Mas?”
“Eng,” Mr. Ganteng sibuk melihat-lihat menu.
‘Hhh, benar-benar ganteng. Matanya indah, senyumannya sangat manis, wajahnya baby face. Mr. Ganteng nama kamu siapa?’
“Saya pesan double cheese burger, dan coke float.” Katanya sambil menutup daftar menu.
“Baik,” aku mencatat pesanannya lalu membacakannya kembali. “Harap tunggu sebentar, ya, Mas.” Aku bergegas meninggalkannya dan menyerahkan pesanan Mr. Ganteng ke koki.
Aku duduk di ruang karyawan. Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Oh MY GOSH!!! Mr. Ganteng, kau telah menyihirku dengan pesonamu. Aku rasa, aku mulai penasaran dengan Mr. Ganteng dan ingin mengenalnya lebih jauh. Aku bangkit karena pesanan Mr. Ganteng sudah jadi, aku langsung mengantarkannya.
“Silakan,” ucapku, sambil meletakkan pesanan Mr. Ganteng di meja.
“Terima kasih,”
Aku bergegas meninggalkan Mr. Ganteng dan masuk ke ruang karyawan. Aku memerhatikan Mr. Ganteng dari balik jendela ruangan. Hhh, betapa manisnya Mr. Ganteng ―walaupun hanya terlihat dari balik jendela. Suatu perasaan aneh muncul di hatiku. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, aku tidak hanya menganggumi Mr. Ganteng tapi aku mulai menyukainya. Aku jatuh cinta? Iya, aku benar-benar menyukai Mr. Ganteng. Tra la la…
Anjani menghampiriku dan ikut melihat Mr. Ganteng di sampingku.
“Emang, sih, dia ganteng banget.” Komentar Anjani. “Tapi kayaknya dia lebih cocok jadi adik lo,”
Aku menoleh, sambil mengerutkan kening. “Maksud lo?”
“Dari tampang, kayaknya dia masih SMA, deh.
JEGEEEEER!! WHAT???? SMA?? Brondong dong? Tapi tidak mungkin, ah, Mr. Ganteng masih SMA. Aduuuh, mudah-mudahan apa yang Anjani katakan SALAH!! SA-LAH!!!!
“Lo tau dari mana, Nya?” selidikku.
“Nebak aja,” Anjani tertawa konyol.
Aku menghela nafas. Ternyata Anjani hanya menebak. Ada dua kemungkinan dari tebakan Anjani tadi. Pertama, tebakan Anjani meleset jauh. Dan, yang kedua tebakan Anjani benar 100%. Aku harus mencari tahu tentang Mr. Ganteng. Secepatnya. Tuhan, beri aku satu cara agar aku tahu tentang siapa Mr. Ganteng sebenarnya. Terutama namanya dulu. Aku mohon, Tuhan.
* * *
Hari ini aku pulang kerja lebih awal karena aku harus menyelesaikan tugas untuk besok. Sebelum aku meninggalkan Teens Kafe, aku berganti pakaian. Setelah itu, aku keluar dari Teens Kafe sambil memakai sunglasses. Aku berjalan menuju halte bis―yang agak jauh dari Teens Kafe―dengan langkah yang cepat karena panas matahari begitu menyengat.
Sesampai di halte bis, aku menunggu bis jurusan rumahku lewat. Kulirik arlojiku. Sudah pukul 2.00 siang. Bis tak kunjung datang, cuaca panas, ditambah perutku menjerit minta makan. Lalu aku putuskan untuk berjalan meninggalkan halte dan siapa tahu aku dapat taksi. Tapi sama saja, sepanjang jalan aku belum menemukan taksi satupun. Duh, susah juga enggak pake mobil. Susah mau kemana-mana.
Aku mendengar seseorang membunyikan klakson motor berkali-kali. Aku melirik dengan sudut mataku lalu aku kembali berjalan. Pasti cowok iseng yang mau godain. Aku mempercepat langkahku tapi orang itu terus mengikutiku. Heran deh, maunya apa, sih? Ngikutin orang terus udah kayak mata-mata aja. Orang itu tetap mengikuti dengan motornya. Aku mulai kehilangan kesabaran, orang ini sudah mengganggu perjalananku. Harus kuperingatkan dia. Aku membalikkan tubuhku ke arah orang itu.
“HEH! MAU LO APA???” seruku kesal. “Ngikutin gue terus! Nggak sopan banget, sih, lo!”
Orang itu menghentikan motornya, kemudian dia membuka helmnya.
Aku terkejut melihat siapa yang ada dibalik helm itu. OH MY GOSH!!!! Mr. Ganteng!!!! Mr. Ganteng ada di hadapanku. Ngapain dia ngikutin aku terus dari tadi? Kan bikin orang takut dan kesal aja, sih. Aduh, mana aku udah ngebentak dia lagi. Sama sekali tak terlintas di otakku kalo pengendara motor itu adalah Mr. Ganteng. Aku melihat Mr. Ganteng menghampiriku dan jantungku berdetak lebih kencang lagi.
“Sorry, udah bikin kamu kesal.” Katanya, merasa bersalah.
“Ng―nggak pa-pa, kok.” Aku tergagap.
“Kamu Karenina, kan?” tanya Mr. Ganteng, sambil mengulurkan tangannya. “Aku Eldo,” tambahnya, memperkenalkan diri.
Hatiku meloncat kegirangan. Akhirnya, aku dapat mengetahui nama asli Mr. Ganteng. YEEEESSSS!!! Terima kasih, Tuhan, Engkau sudah menjawab doaku.
Aku menyalami Mr. Ganteng―ralat, Eldo nama aslinya―. “Karenina,” aku menunduk, tidak berani menatap Eldo.
Eldo melepaskan genggamannya. “Mau pulang, ya?”
“I-iya,”
AARRGH!! Kenapa aku jadi tergagap begini, sih? Memalukan!
“Aku antar pulang, ya?” tawar Eldo.
“Oh, nggak usah. Aku bisa pulang sendiri, kok.”
“Udah, nggak usah sungkan. Di sini, taksi jarang yang lewat. Oke?”
Benar juga, sih, kata Eldo. Sejak tadi tak ada satu pun taksi melintas. Apa aku bareng Eldo aja?
“Eh, malah ngelamun. Ya udah, yuk.” Eldo menarik tanganku. Setengah menarik setengah menggenggam.
Aku tak dapat berkata apa-apa dan aku tak dapat melepaskan tanganku.
“Nih, pake helmnya.” Eldo menyodorkan sebuah helm berwarna putih padaku.
Aku meraihnya lalu memakai helm itu. Eldo segera naik dan menyalakan motornya. Aku masih terdiam, rasa senang ini benar-benar tidak terbendung lagi. Tidak menyangka Eldo mengantarku pulang.
“Ih, anak ini. Kebanyakan bengongnya, deh. Ayo naik.” Kata Eldo, membuyarkan lamunanku.
“Eh, i-iya.” Aku segera menaiki motornya.
Motor Eldo melesat meninggalkan tempat itu dan mengantarku pulang ke rumah.
* * *
“Nah, udah sampai.” Kata Eldo, sesampainya di depan rumahku.
Aku menoleh, untuk memastikan kalo ini memang benar rumahku. Ternyata ini rumahku, berarti Eldo bukan orang jahat. Aku segera turun dari motor dan melepaskan helm Eldo.
“Terima kasih, ya.” ucapku.
“Sama-sama, aku senang banget bisa nganter kamu pulang.” Katanya.
“Kenapa?” aku mengembalikan helm Eldo.
“Ya, senang aja. Bisa nganter perempuan secantik kamu.”
Wajahku merona merah sewaktu Eldo memujiku.
“Ah, biasa aja kali.” Sanggahku. “Mampir dulu nggak?”
“Lain kali, ya. Sekarang aku harus jemput nyokap di kantor.” Eldo memasukkan helm yang kupakai tadi ke dalam tas helm.
“Ya udah, nggak pa-pa. Sekali lagi makasih, ya, Do.”
Eldo mengangguk. “Lain kali kamu nggak usah naik mobil, biar aku bisa nganter kamu pulang lagi.”
Aku tersenyum.
“Boleh minta nomer hape kamu nggak?” tanya Eldo.
BOLEH!!!! Tentu saja boleh, Mr. Ganteng. Jangankan nomer hape, apapun yang kamu minta aku kasih. He-he-he..
“Bo-boleh,” aku mendiktekan nomer hapeku pada Eldo.
“Oke, thank you. Nanti malam aku telepon.” Ucap Eldo. “Aku pulang, ya?” Eldo menyalakan mesin motornya.
“Hati-hati.” Aku melambaikan tangan hingga Eldo tak terlihat lagi.
“YEEEEAAAHH!!!” aku berteriak, senang. “Mr. Ganteng mengantarku pulang. Dan dia akan meneleponku malam ini. Oh, Mr. Ganteng kamu membuatku lemah tak berdaya.” Aku membuka pintu pagar dan berjalan masuk ke rumah.
* * *
Aku mengerjakan tugas kuliahku, sambil mendengarkan lagu di laptopku. Hampir dua jam aku mengerjakan tugas ini, dan hampir dua jam pula Eldo belum menghubungiku. Mungkin dia lagi sibuk jadinya lupa nelepon aku. Atau dia berbohong padaku? Hmphf! Konsentrasiku jadi terpecah gara-gara hal ini. Dan aku jadi malas untuk melanjutkan tugasku, besok aku akan beralasan bahwa lampu di rumahku mati. Sekarang sering terjadi pemadaman lampu―mendadak tanpa pemberitahuan terlebih dulu―di komplek rumahku.
Hhh, aku jadi risau menunggu Eldo meneleponku. Kemana, ya, anak itu? Lupa sama janjinya sendiri. Dasaaar!!
Tiba-tiba hapeku berbunyi tanda SMS masuk. Hanya tertera nomer tanpa nama. Mungkin ini Eldo, tapi, kok, SMS? Kenapa nggak nelepon?
Karen, Maaf aku blm bisa nlp km skrng. Ini nomerku, jangan lupa disave ya! –Eldo-
Dasar! Aku tungguin dari tadi baru bilang sekarang.
Iya, gak pa-pa. Lain kali aja km tlp aq. Ok, pasti aq save nomer km.
Aku mengirim balasan SMS ke Eldo.
Km lagi apa? Udah makan?
“Aku lagi istrht, hbs ngerjain tugas. Udah mkn, kok. Km?” aku mengeja setiap kata yang kutulis kemudian aku mengirimnya.
Kutunggu balasan SMS dari Eldo. Lima menit. Sepuluh menit. Aku tak kunjung menerima SMS balasan dari Eldo. Kemana dia? Apa udah tidur kali, ya? Aku melihat jam dindingku, jarum panjang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Astaga! Pantas saja, pasti Eldo udah tidur. Ya udah, deh, daripada nungguin balasan SMS mending aku tidur aja. Besok ada kuliah pagi dan aku harus ngater Rena dulu. Eh, disave dulu nomer Eldo. Aku menyimpan nomer Eldo dan kuberi nama Eldo a.k.a Mr. Ganteng. He-he-he.
* * *

Pacarku Umur 17 tahun part 3

3.
Harapan Rena
Di Sekolah Rena…
Sudah dua hari, Rena tidak bertemu dengan Eldo―sang pujaan hati―di sekolah. Rasa kangen menggelayuti hati Rena. Tiga puluh menit sebelum bel masuk Rena menunggu Eldo datang. Dan apa yang Rena tunggu-tunggu datang juga. Eldo berjalan di depannya dan membuat jantung Rena semakin berdetak kencang. Kemudian menyapa Rena dan menebar senyuman ‘maut’nya.
“H-hai juga,” Rena tergagap.
Eldo kembali berjalan menuju kelasnya. Mata Rena mengikuti Eldo hingga dia masuk kelas. Setelah itu, Rena masuk ke kelas dengan girang. Rena siap mengikuti pelajaran hari ini karena Rena telah bertemu dengan sang pujaan hati.
* * *
Jam istirahat pun tiba. Rena, Mitha, dan Putri langsung pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka. Mereka menempati bangku kosong dan segera memesan makanan. Kantin cukup ramai saat ini jadi Rena agak kesulitan mencari Eldo.
“Nyariin Eldo?” tanya Mitha.
“Iyalah, emang gue nyariin siapa lagi selain dia?” Rena menoleh ke Mitha.
“Tedjo,” celetuk Putri.
“WHAT? Tedjo?” Rena membelalak kaget. “Come on, he’s very JADUL,”
Mitha cekikikan. “Tapi kayaknya dia cinta mati sama lo,”
“Enak aja, mending Tedjo sama lo aja,”
“Ih, ogah gue. Nanti keturunan gue kayak apa?” Mitha sibuk membayangkannya. “Diih, enggak terbayang.”
Pesanan datang dan mereka siap menyantap makan siang ini. Putri menangkap sosok Eldo di pintu kantin lalu Putri menendang kaki Rena. Rena menatap Putri gusar.
“Apaan, sih?”
“Pujaan hati lo datang, tuh!” bisik Putri memberi tahu.
Rena mengikuti arah pandangan Putri. Dan, benar saja, Rena melihat Eldo melangkah masuk ke dalam kantin. Jantung Rena berdebar cepat begitu melihat Eldo. Semua mata―khususnya siswa perempuan―menatap Eldo tiada henti, tatapan yang mengandung kekaguman mereka terhadap Eldo, si murid cemerlang. Hati Rena terasa sakit. Rena cemburu!
Tapi kecemburuan itu harus segera dilenyapkan, karena Eldo menghampiri meja mereka. Rena hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jantung Rena semakin bertambah kencang, saat Eldo duduk di hadapannya.
“Boleh gabung, kan?” tanyanya sambil melambaikan tangan, memanggil tukang gado-gado.
“Boleh, kok. Boleh.”kata Mitha sedikit salah tingkah.
Sementara Eldo memesan makanan, diam-diam Rena memandangi wajah Eldo.
‘Astaga!! Eldo duduk di hadapanku. Dari sekian banyak bangku, Eldo memilih untuk duduk di sini.’ Batin Rena.
Rena hanya bisa menunduk malu dan melanjutkan makannya.
“Rena, diam aja?”tanyanya.
Rena tersenyum kecut. Rena membiarkan Eldo berbincang dengan kedua sahabatnya. Rena sama sekali tidak dapat berkata-kata lagi. Lidah terasa beku jika sang pujaan hati berada di dekatnya. Memang pesona Eldo mampu menyihir siapa saja yang berada di dekatnya, termasuk Rena.
‘Ya Tuhan, kenapa lidahku kelu sama sekali? Aku pengen banget ngobrol dengan Eldo, tapi kenapa aku mendadak diam seribu bahasa gini?’
Rena sudah menghabiskan makan siangnya dan dia menunggu Mitha dan Putri―yang masih ngobrol dengan Eldo―sambil on-line lewat hape.
“Rena?” panggil Eldo.
Rena menoleh ke arah Eldo. “Iya,”
“Kok diam aja, sih?” tanya Eldo. “Lagi sakit, ya?”
“Nggak, kok, nggak,” Rena menggeleng. “Gue sehat-sehat aja,”
“Dia grogi deket sama lo, Do.” Ledek Mitha.
Wajah Rena langsung merah padam. Rena langsung menginjak kaki Mitha dan menatapnya kesal. Mitha hanya meringis kesakitan.
“Grogi?” Eldo mengerutkan kening.
“Oh, ng-nggak, kok,” Rena tergagap.
Eldo hanya mengangguk. “Gue duluan, ya?” Eldo bergegas meninggalkan meja.
Rena, Mitha, dan Putri bergegas membayar makan siangnya dan meninggalkan kantin. Di satu sisi, Rena sedikit kecewa karena dia tidak memakai kesempatan emas untuk ngobrol dengan Eldo. Di sisi lain, Rena senang karena dia benar-benar tidak tahu harus bicara apa.
‘Tapi tak masalah, Eldo sudah menghampiriku―eh, ralat, menghampiri aku dan teman-teman―saat di kantin tadi. Suatu awal yang baik.’ Rena tersenyum.
* * *
Seusai mata pelajaran terakhir, Rena, Mitha, dan Putri berniat untuk menengok aktivitas ekskul cheerleader. Mereka berjalan menuju lapangan basket tempat ekskul itu latihan. Dulu, Rena kapten tim cheerleadernya―karena sudah kelas tiga, Rena melepas jabatannya itu― jadi dia ingin memantau pengganti posisinya, Gadis. Mereka sampai di lapangan dan kebetulan anak basket sedang latihan juga.
“Ada Eldo, tuh!” bisik Mitha memberitahu.
“Iya, tauu..” kata Rena sambil tersenyum senang.
Kemudian mereka mengambil tempat duduk kosong dekat anak-anak cheers latihan. Semua anggota cheers menyapa Rena, Mitha, dan Putri dengan ramah.
“Ada apa, Kak?” tanya Gadis.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Rena. “Cuma pengen lihat aja latihan kalian.”
“Oh,” Gadis mengangguk. “Kita pake lagu baru, Kak.”
“Bagus itu.” komentar Rena. “Latihan lagi sana,”
Gadis mengangguk dan dia―bersama timnya―kembali berlatih.
Rena memandangi Eldo tanpa henti. Saat Eldo berlari mengejar bola, menggiring bola, hingga memasukkannya ke ring itu sudah membuat Rena bahagia dan bertambah dalamlah cinta Rena kepada Eldo. Pesona Eldo saat bermain basket sungguh mengagumkan. Tapi kecelakaan kecil terjadi. Eldo terjatuh!
Rena terkejut dan langsung menghampiri Eldo. Eldo mengerang kesakitan, lututnya berdarah.
“Lutut lo berdarah, Do.” Kata Rena khawatir. “Cepat bawa Eldo ke UKS,”
Nicky dan Ray membopong Eldo ke UKS. Semua latihan dihentikan karena mereka semua khawatir dengan keadaan Eldo. Mereka berbondong-bondong menuju UKS, tapi ada juga yang pulang. Sampai di UKS, Rena menyarankan agar Eldo berbaring di tempat tidur sementara Rena mengambil kain kasa steril, cairan pembersih luka, betadine, dan plester.
Nicky dan Ray keluar dari ruang UKS saat Rena ingin mengobati luka Eldo. Rena mengambil selembar kasa steril lalu menuang cairan pembersih luka.
“Tahan ya, Do.” Kata Rena, sambil membersihkan luka Eldo yang cukup parah.
Eldo meringis menahan sakit.
Setelah itu, Rena kembali mengambil selembar kasa steril, menetesi dengan betadine, dan menempelkannya di luka Eldo. Kemudian Rena memasang plester agar tidak lepas.
“Sudah selesai.” Ucap Rena.
Eldo memandangi lukanya. “Makasih, ya, Ren.”
“Sama-sama, Do.” Rena meletakkan kembali obat-obat tadi ke tempat semula.
Lalu Eldo turun dari tempat tidur. Dengan sedikit pincang Eldo berjalan menuju pintu UKS, Rena mengikuti Eldo dari belakang. Eldo membuka pintu dan segera disambut oleh Nicky dan Ray.
“Lo nggak pa-pa, kan?” tanya Nicky.
“Iya,” jawab Eldo. “Luka gue udah diobatin.”
Nicky menatap Rena. “Makasih, ya, Rena.”
Rena tersenyum, “Sama-sama.”
Mereka semua pergi dari UKS dan memutuskan untuk pulang.
“Ciee, yang habis nolongin si pujaan hati.” Ledek Putri.
Rena tersipu malu. “Apaan, sih? Biasa aja kali.”
“Halah, bohong.” Sanggah Mitha. “Tuh, muka lo merah.”
Rena hanya mencibir.
Memang, Rena senang karena bisa menolong Eldo tapi sepertinya Eldo hanya biasa saja tidak memberi respon lebih. Hanya mengatakan terima kasih. Itu saja. Tapi itu tidak menyurutkan rasa cinta Rena pada Eldo. Pepatah mengatakan masih banyak jalan menuju Roma. Masih banyak cara mendapatkan cinta Eldo.
‘Apa Eldo akan membalas cintaku? Bagaimana jika aku menyatakan perasaanku kepadanya? Tapi lewat apa? Surat? SMS? Telepon? Atau bicara langsung? Huh.’
Rena melangkah dengan gontai menuju kamarnya. Dia merebahkan tubuh di tempat tidur dan mengingat kejadian tadi, kejadian yang sangat membahagiakan hatinya. Kemudian muncul gejolak di hati Rena. Suara hati mengatakan agar Rena mengatakan perasaannya pada Eldo, tapi masih ada keraguan juga di hatinya.
“Aaargh!” Rena berteriak putus asa. “Kalo gini terus, aku bisa gila. Eldo, aku suka sama kamu. Aku sayang sama kamu.” Rena memandangi foto Eldo lalu membekapnya.
* * *

Pacarku Umur 17 tahun part 2

2.
Where Are You, Boy?
Di sekolah Rena...
…Tiga puluh menit sebelum bel sekolah berbunyi, hal yang dilakukan oleh Rena dan kedua sahabatnya adalah menunggu Eldo―sang pujaan hati Rena―di depan kelas. Rena memang tidak sekelas dengan Eldo, tapi kelas Eldo bersebelahan dengan kelasnya. Jadi menunggu Eldo lewat dan menyapanya adalah rutinitas Rena sebelum masuk kelas.
Berulang kali Rena melirik arlojinya dengan gelisah. Sampai detik ini, Eldo belum muncul juga. Apa jangan-jangan Eldo nggak masuk hari ini? Atau Eldo sakit? Atau Eldo telat? Aduuuh, kemana, sih, anak itu? Rena masih bersi kukuh untuk menunggu Eldo sedangkan Mitha dan Putri memutuskan untuk masuk kelas. Hingga bel berbunyi pun, Eldo belum datang. Dengan penuh rasa kecewa Rena melangkah masuk ke kelas sebelum Ibu Endang lebih dulu masuk.
“Belum datang?” tanya Mitha, saat Rena duduk di bangkunya.
Rena hanya menggeleng lemas.
“Ya udah, mungkin aja dia telat.” Putri mengusap-usap punggung Rena. “Kalo dia benar nggak masuk, lo telepon aja.”
“Iya, deh,” Rena tidak dapat berkata-kata lagi.
Tak lama kemudian, Bu Endang masuk kelas. Semua murid kembali ke tempat duduk masing-masing. Rena sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran Bahasa Inggris―mata pelajaran favorite Rena―saat ini. Gelisah, resah, risau sedang berkecamuk dalam pikirannya karena sampai detik ini Eldo tak kunjung datang.
Rena melirik arlojinya―lagi. Sudah pukul 10.00. Waktu yang tak mungkin siswa bisa masuk ke sekolah. Dengan kata lain Eldo tidak masuk hari ini.
‘Eldo kemana ya? Tumben dia nggak masuk? Apa nanti pas istirahat aku telepon dia?’ batin Rena.
Bel istirahat berbunyi. Positif. Rena sama sekali tidak menyimak pelajaran hari ini. Pikirannya melanglang buana entah kemana memikirkan keberadaan Eldo, sang pujaan hati. Bu Endang sudah pergi meninggalkan kelas. Rena segera mengeluarkan hapenya, menekan nomor hape Eldo―yang sudah di luar kepala― dan menekan tombol ‘yes’ di hapenya.
“Halo?” terdengar suara Eldo di seberang sana. “Siapa ini?”
“E― ini g-gue Rena,” Rena tergagap.
“Rena? Rena siapa?” tanya Eldo. “Oh, Rena anak cheers itu ya?” Eldo mencoba mengingat Rena.
“I-iya.” Jawab Rena.
“Ada apa?”
“Oh, ng-nggak kok, cuma pengen tau kenapa lo nggak masuk hari ini?”
“Oh itu, gue lagi ada urusan. Jadi gue nggak masuk, deh.”
Rena mengangguk. “Oh, gue pikir lo sakit.”
“Enggak, gue baik-baik aja.”
“Y-ya udah, gitu aja. Maaf kalo gue ganggu. Dah…” Rena mematikan hapenya setelah Eldo berkata ‘Dah’ padanya.
“Gimana?” tanya Putri.
Rena melonjak kegirangan lalu memeluk Putri dengan erat kemudian melepaskannya. Dipandanginya kedua sahabatnya itu. Mitha dan Putri sangat heran melihat tingkah Rena.
“Gue pikir, Eldo nggak bakal jawab telepon gue,” kata Rena. “Tapi ternyata dia jawab.” Giliran Mitha dipeluk oleh Rena.
“Kok, lo bisa berpikiran gitu?” tanya Mitha.
Rena melepaskan pelukannya. “Gue pikir dia sombong, tapi ternyata dia anaknya nice bangeet.”
“Baguslah, mudah-mudahan lo semakin ada celah untuk dapetin Eldo.” Ucap Putri.
“Amiiiin…” Kata Rena.
“Ya udah, yuk, kita ke kantin. Gue laper, nih.” Ajak Mitha.
“Oke,” Rena berjalan meninggalkan kelas.
Selama ini Eldo cuek banget ke semua cewek ―yang berusaha mengambil hatinya―di sekolah. Selain cuek Eldo juga pendiam dan sedikit pemalu padahal wajahnya sangat, sangat, sangat, di atas standart. Ganteng. Manis. Jadi kenapa dia pemalu seperti itu? Seharusnya dia bangga dengan apa yang dimilikinya. Eldo juga salah satu murid pandai di sekolah, satu peringkat di atas Rena. Walaupun mereka saingan, tapi Rena tidak peduli.
Rena sangat menyukai Eldo sejak kelas satu. Waktu itu mereka satu kelas hingga kelas dua. Tapi Rena tidak berani untuk menyatakan perasaannya pada Eldo, karena dari pengalaman teman-teman Rena―yang pernah menyatakan perasaannya pada Eldo―mereka semua tidak ada yang berhasil merebut hati Eldo. Namun ―saking cintanya pada Eldo― Rena akan terus berusaha mendekati Eldo sampai Eldo jatuh ke tangannya entah bagaimana caranya. Rena sama sekali tidak rela jika sang pujaan hati jatuh ke tangan orang lain.
* * *
Di Teens Kafe..
Hhh, melelahkan juga double job kayak gini. Aku merebahkan tubuhku di kursi dan mengipas-ipas kertas daftar menu. AC ruangan tidak terasa karena pengunjung begitu ramai di hari ini. Pantas saja ramai, sekarang kan malam minggu. Untung semua karyawan lengkap jadi aku tidak kerepotan. Untuk hari sabtu Teens Kafe buka hingga pukul 10.00 malam agar pelanggan kami dapat menikmati malam minggunya―bersama orang terdekat mereka―di sini. Tapi itu pasti membuatku iri. Hu-hu-hu…
Saat aku ingin bangkit, seseorang masuk. Dan aku sedikit terkejut melihat Irfana ada di hadapanku. Irfana langsung berlari dan memelukku. Irfana menangis tersedu-sedu.
“Ada apa, Fa?” tanyaku prihatin.
“Gue baru aja diputusin sama cowok gue. Hu-hu-hu..” Irfana menangis lagi.
“Nicky?” tanyaku, heran. “Si anak SMA itu?”
Irfana melepaskan pelukannya. Dia tidak dapat berkata-kata lagi. Air matanya masih menggenang di pelupuk matanya.
“Gue udah pernah bilang, kan? Jangan pacaran sama cowok yang lebih muda dari kita. Mereka, tuh, cocoknya jadi adik. Dan mereka itu masih kekanak-kanakkan, Fa. Belum bisa diajak serius.” Aku berusaha menghibur Irfana.
“Iya, gue inget. Tapi waktu itu gue pikir, gue bisa ngerubah Nicky untuk jadi lebih dewasa.” Kata Irfana sambil menatapku. “Gue sayang sama dia, Kar. Sayang banget!” Irfana kembali terisak.
Aku memeluknya sambil mengusap-usap bahu Irfana, mencoba menenangkannya.
“Ya udah, lo nangis aja sepuasnya. Luapin semua kekesalan lo.”
Irfana menangis lebih kencang dalam pelukanku. Aku hanya mengusap-usap bahunya tanpa berkata apa-apa. Setelah agak lama Irfana menangis tersedu-sedu, dia melepaskan diri dari pelukanku. Kemudian aku memberikan Irfana tissue untuk menghapus air matanya.
“Udah tenang?” tanyaku.
Irfana mengangguk.
“Eh, gue buatin hot chocolate ya,” kataku. “Kata orang, sih, cokelat bisa bikin pikiran tenang.” aku menarik tangan Irfana, mengajaknya keluar.
Irfana hanya diam hingga kami sampai di bar. Aku menyuruh Irfana duduk sementara aku membuatkan cokelat panas untuk sahabatku yang satu ini.
“Ini dia,” aku menaruh secangkir cokelat panas di bar.. “Ampuh sebagai obat penghilang stress.”
Irfana meminumnya perlahan-lahan. Setelah minum, dia meletakkan kembali cangkir itu di atas piring kecil. Terlihat wajah Irfana kembali ceria.
“Cokelatnya enak,” komentar Irfana.
Aku tersenyum puas. “Terima kasih,” ucapku. “Udah lebih tenang, kan, sekarang?”
“Emang benar kata lo, ampuh banget buat ngilangin stress.”
Aku tertawa. “Syukur, deh. Kalo gitu.”
“Karen, gue boleh bantuin lo nggak?” tanya Irfana.
“Hah?” aku mengerutkan kening.
“Gue bantuin jadi waitress hanya untuk hari ini, nggak usah dibayar.”
“Ya udah, ganti baju sana.” Suruhku. “Kebetulan gue bawa baju dua stel, lo pake aja punya gue. Ambil di tas gue”
“Oke, Bos!” Irfana mengacukan ibu jarinya sambil mengerlingkan sebelah matanya.
Aku kembali bekerja. Aku melayani para pelanggan yang baru datang, mencatat menu pesanan mereka, lalu memberikannya pada koki.
Tiba-tiba aku teringat pada Mr. Ganteng. Kira-kira dia datang lagi tidak ya? Aku melirik jam tanganku. Sudah pukul 9.00 malam. Pasti dia tidak datang, kalopun datang dia pasti pergi dari Kafe karena penuh. Hmm, Mr. Ganteng, aku pengen ketemu lagi. Aku harap kamu datang ke sini. Aku kembali bar, menyiapkan minuman untuk pesanan meja tiga. Kemudian aku membawakan pesanan itu ke meja tiga.
Tepat pukul 10.00 malam, Kafe tutup. Aku memasang tanda CLOSED di pintu Kafe lalu menguncinya. Dalam hati aku masih berharap Mr. Ganteng datang agar aku dapat bertemu dengannya. Aku menghela nafas panjang lalu aku meninggalkan Kafe karena Irfana sudah menungguku di parkiran. Setiap malam minggu, dia menginap di rumahku untuk menemaniku dan menghabiskan akhir pekannya bersamaku. Apalagi Irfana sedang patah hati jadi dia butuh seseorang untuk menemaninya―secara dia anak tunggal―saat ini dan seseorang itu adalah aku, sahabatnya. Karenina Putri. He-he-he.
* * *
Sudah pukul 12.00 malam aku dan Irfana belum tidur. Kami mengenang masa-masa kecil, sejak TK kami bersahabat. Sewaktu SD kami satu sekolah hingga SMP. SMA kami beda sekolah, hingga akhirnya kami dipertemukan kembali di unversitas dan jurusan yang sama. Persahabatan kami tak lekang oleh waktu walaupun pernah persahabatan kami hampir pecah karena masalah cowok. Kami menyukai cowok yang sama tapi akhirnya kami memutuskan untuk tidak saling menyakiti dan melupakan cowok itu. Sekarang kami berbeda dalam memilih cowok. Irfana menyukai cowok yang hitam manis, tinggi, dan sedikit gemuk. Sedangkan aku menyukai cowok manis, tinggi, dan putih seperti Mr. Ganteng.
Ngomong-ngomong soal Mr. Ganteng, aku teringat akan surat kemarin. Aku langsung mengambil diaryku dari dalam laci mejaku kemudian membuka halaman dimana aku menempel surat itu. Aku menyerahkan diaryku pada Irfana, Irfana menerimanya dengan heran.
“Kemarin, ada yang ngirim surat itu. Dia pelanggan baru di Teens Kafe.” Kataku saat Irfana membaca surat itu.
“Mr. Ganteng?” tanya Irfana.
Aku mengangguk. “Gue ngasih julukan itu, karena gue nggak tau namanya. Lagipula dia juga ganteng, kok.”
“Masa, sih, dia seganteng itu? Jadi penasaran gue.” Irfana menutup diaryku.
Aku tertawa. “Tapi itu jatah gue ya. Jangan diambil.”
“Nggak, nggak.. Gue masih tetap nyari brondong. He-he.” Irfana tertawa konyol.
“Ck, ck, ck,” aku berdecak. “Dasar lo, penyuka brondong. Kalo gue, sih, anti banget!”
“Jangan gitu, lho, nanti lo ke makan omongan lo sendiri. Baru tau rasa.”
“Hhhh, nggak bakal! Gue nggak level sama brondong.”
“Ya sudah, terserah. Gue pegang kata-kata lo, ya, Karen.” Kata Irfana sambil menarik selimut hingga pundaknya. “Gue tidur duluan, ya.”
Hmm, benar juga. Jangan sampe, deh, aku kemakan omonganku sendiri. Kira-kira Mr. Ganteng umurnya berapa ya? Di atas aku atau di bawahku? Aku menerawang jauh, mencari tahu umur Mr. Ganteng berapa? Hhhh, entahlah yang penting aku harus ketemu Mr. Ganteng lagi. Aku menguap dan segera menarik selimutku. Aku memejamkan mataku dan tertidur pulas.
* * *

Februari 16, 2010

Hormon-hormon Cinta...

Ternyata, cinta itu terdapat hormon-hormonnya. Antara lain:

1. Phenylethylamine (hormon utama): Senyawa ini menimbulkan perasaan gembira, dan memberi efek bisa membuat seseorang tersipu malu sekaligus bahagia saat bertemu dengan orang yang disukai. Hormon ini hany berlangsung sekitar dua sampai empat tahun saja.

2. Feromon : Persis dengan hormon yang diproduksi oleh ratu lebah. Artinya, jika kita naksir seseorang, tubuh kita akan secara otomatis mengeluarkan wewangian khusus. Dan jika cowok yang kita taksir merasa cocok dengan wangi tersebut, maka cinta kita pun akan terbalas.

3. Oxytocin : Hormon yang membuat seseorang ingin selalu dipeluk dan dicium.

4. Vasopressin : Hormon yang mempengaruhi tingkah laku seksual dan tingkat kesetiaan seseorang pada pasangan.

5. Dopamine : Hormon, yang membuat tampilan fisik seseorang sehingga membuatnya terlihat lebih 'kinclong'.

6. Neuropinephrine : Hormon pemicu semangat. Hormon ini memicu aliran darah untuk mengalir lebih cepat, sehingga tubuh merasa enerjik dan happy.

Februari 15, 2010

Pacarku Umur 17 tahun Part 1

1.
My Activity

“Renaaaa…” seruku tak sabar. Aku berkali-kali memandangi arlojiku. “Cepet turun!”

“Iya, Kak. “sahut Rena. “Sebentar lagi.”

Aku menghela nafas. “Lihat, kan, Bi. Rena kesiangan lagi.” Ucapku pada Bibi Minah.

Bibi Minah hanya mengangguk. “Maaf, Non. Padahal semalam saya sudah menyuruh Non Rena tidur, tapi Non Rena masih asyik nonton film Korea itu lho, Non.”

“Nonton film Korea?” aku mengernyitkan keningku.

“I-iya, Non.” Jawabnya. “Apa, ya, judulnya?” Bi Minah sibuk mengingat-ingat judul film Korea itu. “Boy―”

“Boys Before Flower, Bi.” Potong Rena sambil menuruni tangga.

Aku hanya menggelengkan kepala mendengar judul film Korea itu. Kemudian aku menghampiri Rena. “Ayo, berangkat!”

“T-tapi, Kak, aku belum sarapan.” Rena memegang perutnya.

“Salah sendiri bangun siang.” Ucapku kesal.

“Maaf-maaf,” Rena menunduk.

“Ya udah, kita nggak punya waktu banyak.” Aku meraih tasku lalu melangkah keluar.

“Cepet, malah diam.” Aku membelalakan mataku.

Rena langsung menyusulku sambil menggerutu. ‘Ih, galak banget! Lagi sensitif kali ya dia? Makanya nggak ada cowok yang mau deketin Kak Karen, takut diomelin terus sih. Hi-hi-hi.’ Rena senyum-senyum sendiri, lalu Rena masuk ke mobil.

Aku menyalakan mesin mobil dan langsung melesat meninggalkan rumah. Aku melihat Rena memegangi perutnya daritadi. Kasihan juga, sih, ngeliat Rena kelaparan. Nanti dia nggak bisa konsentrasi belajar karena perutnya kosong. Aku teringat kalo sarapanku pagi ini tidak aku makan―rencananya akan kumakan saat di kampus―ada di dalam tas.

“Ren, kamu lapar?” tanyaku.

Rena mengangguk. “Banget, Kak.”

Aku tersenyum. “Coba kamu ambil tas Kakak, deh.”

Rena meraih tasku yang ada di kursi belakang. “Udah, Kak.”

“Kamu keluarin tempat makannya.” Suruhku.

Rena mengeluarkan tempat makan warna ungu―warna favoriteku―dari dalam tas.

“Kamu makan aja nasi goreng Kakak.” Kataku. “Biar kamu nggak lapar lagi.”

Rena memandangku. “Terus Kakak? Makan apa?”

Aku tertawa. “Kamu nggak usah khawatir, Ren. Kakak bisa makan di kantin kampus.” Aku memandang Rena sebentar, lalu kembali fokus ke stir mobil.

Rena masih terdiam. Dia belum membuka tempat makanku.

“Kok, belum di makan?”

“Makasih, ya, Kak.” Ucap Rena.

“Untuk?”

“Untuk nasi gorengnya.” Rena tersenyum.

“Iya, sama-sama.”

Akhirnya Rena membuka tutup tempat makan itu, lalu memakannya.
‘Walaupun galak, tapi Kak Jasmine baik hati.’ Batin Rena.

* * *

Lima belas menit kemudian, mobilku tiba di depan pintu gerbang sekolah Rena. Kulihat kedua sahabatnya, Mitha dan Putri sudah menunggu Rena. Rena mencium kedua pipiku lalu turun dari mobil.

“Belajar yang benar, Ren.” Pesanku.

“Iya, Kak.”

“Kalian juga, ya.” pesanku kepada dua sahabat Rena itu.

“Baik, Kak Karen.”

“Ya udah, Kakak berangkat dulu ya.” kataku sambil menutup jendela.

“Dagh..” Rena melambaikan tangannya.

Aku menjalankan mobilku, meninggalkan sekolahan itu. Aku menambah kecepatan mobilku agar bisa mengejar waktu kuliahku. Jarak sekolah Rena ke kampusku sangat jauh sekitar tiga puluh tiga kilometer. Bisa kutempuh selama tiga puluh menit tanpa hambatan―terutama macet―di jalan.
* * *
Lima menit lagi, kuliah dimulai. Untungnya aku sudah memasuki wilayah kampusku. Aku segera keluar dari mobil, menguncinya, lalu berlari menuju ruang kuliahku yang berada di lantai dua. Mata kuliah hari ini, Manajemen Pemasaran Lanjut yang diajarkan oleh Pak Iman. Banyak yang bilang Pak Iman ini galak dan sangat disiplin saat mengajar. Beliau suka mengeluarkan kata-kata pedas pada kami jika kami tidak mengikuti materi hari ini. Dan satu lagi, ON TIME banget! Jadi untuk hari ini, tamat riwayatku! Aku bakal dilarang masuk oleh Pak Iman dan aku dinyatakan tidak masuk―yang nyata-nyatanya aku datang―mata kuliahnya.

Aku terengah-engah. Aku berhenti sejenak untuk mengatur pernafasanku yang tidak stabil ini. Aku menangkap sosok Pria bertubuh tinggi, sedikit gemuk berjalan dari arah berlawanan. Pria itu semakin mendekat dan semakin terlihat siapa dia.
“HAH? Pak Iman?” aku membelalak kaget. Segera aku memasuki ruangan sebelum Pak Iman. Setidaknya riwayatku tidak tamat hari ini. Kulihat Irfana melambaikan tangannya agar aku mengambil tempat duduk di sebelahnya.

“Selamat Pagi, anak-anak.” Pak Iman memasuki ruangan.

“Pagi, Pak.” Balas semua Mahasiswa dalam ruangan itu.

Aduh, jangan-jangan aku bakal kena kata-kata pedasnya itu sekarang. Pasti dia nyindir aku habis-habisan. Debar jantungku menjadi dua kali lebih cepat dari biasanya. Irfana heran melihatku yang sedikit resah.

“Karenina?” Pak Iman memanggilku.

Aku tersentak. Tuh, kan, benar. Pak Iman pasti mau marahin aku. Keringat dingin hinggap di tubuhku.

“Karenina?” panggilnya sekali lagi.

Irfana menyikutku. “Ren, lo dipanggil Pak Iman.” Bisiknya.

“I-iya, Pak.” Aku tergagap.

“Sini sebentar,” katanya.

Dengan perlahan aku berdiri dari kursi, keluar dari barisanku, dan berjalan menuju meja Dosen sambil menundukkan kepala.

“Tolong hapus tulisan di papan tulis,” Pak Iman menyodorkan penghapus padaku.

Aku tersentak kaget, dan segera menoleh. Pak Iman tidak memarahiku? Ahhaaai, selamat kalo gitu.

“Ayo, cepat. Malah bengong.” Pak Iman menurunkan kacamatanya sampai ke hidungnya.

“I-iya, Pak,” aku langsung meraih penghapus dan segera menghapus semua tulisan di papan tulis. Setelah papan tulis bersih, aku menaruh penghapus di meja.

“Terima kasih,” ucap Pak Iman.

“Sama-sama,” aku melangkah kembali ke bangkuku.

Aku bersyukur karena aku tidak mendapatkan kata-kata ‘manis’ dari Pak Iman. Kemudian aku mengeluarkan perlengkapan kuliahku saat Pak Iman mulai bercuap-cuap di depan ruangan. Aku dan Irfana benar-benar menyimak materi yang diajarkan hari ini padahal perutku sudah ber’keroncongan’ terus. Aku terus berusaha menahan dan melupakan rasa lapar ini hingga mata kuliah Manajemen Pemasaran Lanjut selesai. Selagi aku menulis materi di papan tulis, tiba-tiba Irfana menyodorkan sebuah kertas―yang berisi pesan―padaku.

Karen, nanti makan di mana?

Aku segera menulis balasan untuk Irfana. Nggak tau, nih. Terserah lo deh, Fa. Aku mengembalikan kertas itu ke Irfana.

Ya udah, kita makan di kantin aja.

Oke.

Irfana langsung meremas kertas itu ―sehingga menjadi sebuah bola kertas―karena takut ketahuan Pak Iman. Bisa-bisa kami nanti diberi ucapan-ucapan ‘manis’ darinya.
Aku melirik arlojiku. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 pagi. Perutku semakin keroncongan, dan Pak Iman belum menyudahi kuliah hari ini. Aku sudah tidak dapat menahan rasa lapar ini. Aku mulai keringat dingin, badanku gemetar, dan kepalaku pusing. Lama sekali sih, Pak Iman? Ayo, dong, Pak buruan. Saya lapar nih.

“Baik, cukup sekian kuliah hari ini.” Pak Iman berjalan ke mejanya.

“YEEEESSSS!!” aku melonjak kegirangan―dari tempat duduk.

Akhirnya, kuliah selesai juga. Aku terdiam, aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Kini semua mata tertuju padaku. O,o what I’ve done? ME-MA-LU-KAN!!!! Warna merah langsung menghiasi wajahku. Dengan cengingisan aku kembali duduk sebelum sorakan dari teman-teman menggema di ruangan. Kulihat Pak Iman hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aneh. Tumben-tumbenan Pak Iman diam aja, enggak marah-marah?

“Buseeet, semangat banget, sih, lo?” tanya Irfana sambil membereskan buku-bukunya, lalu memasukkannya ke tas.

“He-he, laper banget nih.” Aku memegang perutku.

“Ya udah, ayuk, kita ke kantin.” Ajak Irfana.

Tanpa basa-basi lagi, kami segera meninggalkan ruang kuliah.

Begitu tiba di kantin─dengan suasana yang sangat ramai─aku dan Irfana mengambil tempat duduk dekat tangga. Aku melambaikan tangan, memanggil tukang soto ayam.

“Soto ayam dua, nggak pake santan ya, Jo.” Kataku pada Bejo.

“Baik, Mbak,” ucapnya. “Oh iya, minumnya apa?”

“Es jeruk aja, deh,”
Bejo hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan meja kami.

Sepuluh menit kemudian Bejo datang sambil membawa pesanan kami, kami langsung menyantap makan siang. Dengan lahap aku menikmati soto ayam─makanan favoritku─karena perutku sudah ‘meronta’ minta makan. Setelah kami menghabiskan makan siang, kami segera membayar dan pergi dari kantin.

Tiba-tiba, aku mendapat telepon dari Om Bagas agar aku segera ke Kafenya sekarang.
“Fa, gue nggak masuk ya mata kuliah Etika Bisnis.”

“Kenapa?”
“Tadi Om gue nelepon, gue di suruh ke Kafe sekarang.” Aku mencium pipi kanan dan kiri Irfana.

“Ya udah, hati-hati ya.” Irfana melambaikan tangan saat aku meninggalkannya.
Aku berlari menuju parkiran mobil. Aku belum terbayang apa yang terjadi di kafe saat ini. Dan aku segera masuk ke mobil lalu menjalankan mobilku meninggalkan area kampus.

* * *
Dua puluh menit kemudian, aku sampai di Teens Kafe. Aku mendorong pintu kaca dengan suara dentingan loceng dan suara lagu langsung menyerbu. Aku buru-buru mencari Om Bagas ke ruangannya. Aku mengetuk pintu dan suara Om Bagas terdengar dari dalam, menyuruhku masuk.

“Ada apa, Om?” tanyaku setelah aku masuk ke ruangannya. “Sepertinya ada yang mendesak?”

“Karen, Om minta tolong.” Ucap Om Bagas.

“Apa, Om?”

“Om besok mau ke Australia jenguk Regina. Jadi kamu gantiin tugas Om, ya?” Om Bagas memandangku, penuh harap. “Hari Senin Om pulang, kok.” Tambahnya.

“Baik, Om. Kebetulan besok saya nggak ada kuliah jadi saya bisa gantiin Om.”

“Soal gaji, nanti saya kasih bonus kamu dua puluh persen.”

Aku terbeliak. Dua puluh persen? Banyak sekali. Kapan lagi aku dapat bonus? He-he-he.
“Makasih banyak, Om Bagas.” Ucapku.

“Sama-sama,”

Aku melangkah keluar dari ruangan Om Bagas dengan hati riang dan wajah berseri-seri. Tra la la..

Kemudian aku masuk ke kamar mandi karyawan untuk berganti kaus hijau dan celemek putih Teens Kafe. Aku mengikat tinggi rambutku, lalu memakai bandana putih sebagai penghias di kepalaku. Ketika aku keluar, aku langsung menaruh barang-barangku di loker nomor 21 setelah itu aku bersiap untuk bekerja.

Teens Kafe sering didatangi oleh anak-anak muda―mulai dari SMA hingga kuliah―setiap harinya. Tempatnya yang cozy dan nyaman membuat mereka ‘terhipnotis’ untuk datang ke kafe ini terus. Fasilitasnya lengkap, member card juga disediakan untuk para pelanggan dengan potongan lima hingga sepuluh persen―setiap pembelian di atas seratus ribu rupiah.

Teens Kafe tidak begitu ramai, dan tidak begitu sepi. Satu―tiga waitress bolak-balik mengantar pesanan pada pelanggan. Aku belum kebagian kerjaan hari ini dan aku menunggu di tempat perkumpulan karyawan. Saat aku sedang bersantai, Anjani―salah satu karyawan―menyuruhku untuk melayani seorang pelanggan baru. Menurut mereka aku ini bagaikan senjata ampuh untuk menarik pelanggan agar datang ke Teens Kafe lagi. Aku punya daya tarik tersendiri dari mata karyawan lainnya. Pertamanya, aku menolak namun kata Anjani pelanggan baru itu seorang cowok, aku langsung menjalankan tugasku.
“Selamat datang di Teens Kafe.” Ucapku dengan lembut. “Mau pesan apa?” aku menyerahkan daftar menu padanya.

Cowok itu menoleh ke arahku, lalu tersenyum. Kemudian dia membaca ―dengan seksama― daftar menu itu. Aku mengamati cowok itu. Manis. Lumayan juga. Beruntung sekali aku menjadi orang pertama yang melayani pelanggan baru ini yang supeeer manis dan kiyut.

“Saya pesan Lasagna Al Forno dan Lemon Squash.” Katanya sambil menyerahkan daftar menu itu.

Aku mencatat pesanannya, lalu membacakannya untuk koreksi. “Baik, harap tunggu sebentar.” Aku melangkah dari meja itu, sambil tersenyum senang.

“Eh, Mbak. Tunggu.” Panggil cowok itu.

Aku melangkah kembali ke mejanya. “Ada apa?”

“Nggak pake lama, ya.” katanya sambil mengerlingkan mata padaku.

Aku tersenyum geli, “Baik, Mas.” Aku beranjak dari situ.

Setelah pesanan cowok itu siap aku langsung mengantarkan kepadanya.

“Ini pesanannya, Mas.” Aku meletakkan semua pesanan di atas meja.

“Terima kasih.” Ucap cowok itu.

Aku meninggalkan meja si pelanggan baru itu dan meletakkan baki ketempatnya semula.
Setelah si pelanggan baru itu selesai makan, dia segera membayar di kasir. Lalu dia melangkah keluar dari Teens Kafe. Aku memandanginya hingga dia tidak terlihat lagi.
Hhhh, semoga dia datang ke Teens Kafe lagi. Aku membereskan meja si pelanggan baru itu lalu aku menemukan secarik kertas di atas meja.

Nice to meet you, Karenina. See you next time..

Pesan itu membuatku menjadi seperti bersayap dan terbang tingiiiiiii sekali hingga ke awan. Hatiku dipenuhi bunga yang bermekaran sangat indah dan pelangi menghiasi latar belakangku. Dia tahu namaku? Oh, pasti dia melihat di name tag-ku. Oooh, betapa bahagianya aku. Aku mencari nama pengirim tapi aku tidak menemukannya. Aku sedikit kecewa dan sedih. Hhh, baru kali ini aku dikagumi oleh pelanggan Teens Kafe. Semoga kita ketemu lagi, Mr. Ganteng. Aku membekap surat itu sambil membayangkan betapa manisnya si pelanggan baru itu alias Mr. Ganteng.

“Dooooor!” seseorang mengejutkanku dari belakang.

HAH!!! Aku tersadar dari lamunanku. Dengan kecepatan 250 km/jam aku terenyak ke bumi. Semua keindahan yang ada hilang sudah dan berganti menjadi pemandangan Teens Kafe yang cukup ramai. Aku menoleh ke arah datangnya suara, dan … OMG!! RENA!!! Aku langsung menyimpan kertas itu di kantong celemek agar Rena tidak membaca pesan itu.

“Re-Rena?” aku gelagapan.

“Kakak ngelamunin apa, sih, sampe senyum-senyum gitu?” Rena tertawa geli.

“Oh, ng-nggak mikirin apa-apa.”

Rena manggut-manggut. “Kak, aku pesan Cappucinno Latte ya?”

“Pesan aja ke Anjani,” suruhku sambil meneruskan pekerjaanku.

Rena langsung melangkah ke bar dan memesan Cappucinno Latte. Lalu Rena duduk di bangku sambil menunggu pesanannya jadi. Aku berjalan menuju dapur sambil membawa piring kotor, sendok dan garpu kosong, serta gelas kotor. Kemudian aku bergabung dengan teman-temanku di bar.

“Rena, tumben kamu ke sini?” aku duduk di kursi sebelah Rena.

“Tadi temen aku ke sini, aku pengen nyusul. Eh, tapi aku telat dia udah keburu pulang.” Jawab Rena.

“Temen atau temen?” ledek Anjani sambil menaruh Cappucinno Latte milik Rena.

Wajah Rena merona. “Temen, kok.” Rena meraih gelas Cappucino Latte dan meminumnya.

Anjani tertawa geli melihat tingkah Rena―antara malu karena diledekin dan takut padaku.

“Cewek atau cowok?” tanyaku.

“Cowok, Kak. Dia gebetan aku.”

Aku menghela nafas panjang. “Kamu, tuh, genit banget. Pake acara nyusul ke Kafe segala, sih.” Kataku dengan ketus.

“Abis di sekolah dia susah banget aku deketin, jadi saat aku tau dia mau ke sini aku punya kesempatan untuk ngobrol sama dia.”

“Setau aku, pelanggan cowok yang datang ke sini banyak.” Kataku. “So, aku nggak tau yang mana temen kamu.”

“Nggak papa, kok. Emang belum rejekiku untuk ngobrol sama dia.” Rena mengembuskan nafasnya dan terpancar kekecewaan di wajah Rena.

Tepat pukul 9.00 malam, kafe ini tutup. Semua karyawan sudah berada di luar dan aku siap mengunci pintu Teens Kafe. Rena menurunkan tirai jendela, sementara aku mengecek semua baik-baik saja, mulai besok aku menjadi pemimpin sementara Kafe ini selama Om Bagas ke Australia. Setelah menurutku semua aman terkendi kami keluar dari Kafe, mengunci pintu Kafe dan menutupnya dengan rolling door. Aku dan Rena segera masuk ke mobil dan segera menjalankan mobilku meninggalkan Kafe.

* * *

Saat aku hendak membuka pintu rumah, hapeku berdering. Aku segera menjawabnya.
“Iya, kenapa, Fa?”

“Kar, besok pergi, yuk?” ajak Irfana di seberang sana.

“Aduh, nggak bisa.” Kataku. “Gue harus gantiin tugas Om gue, dia lagi jenguk anaknya di Australia.”

“Yah, sayang banget. Padahal gue mau ngajak lo nonton film terbaru gue.”

Aku mengerutkan kening. “Film terbaru lo? Emang lo main?”

“Bukan, bukan, maksud gue, film yang baru gue beli.” Irfana meralat kata-katanya.

“Ooo, gue kira lo main di film itu.” aku membuka pintu dan berjalan masuk ke kamarku.

“Ya udah, besok gue main aja di Teens. Boleh,kan?”

“Jelas boleh, dong, Fa.”

“Oke kalo begitu,” ucap Irfana. “Udah dulu, ya? See you tomorrow.. Bye” Irfana mematikan hapenya.

Aku meletakkan hapeku di atas meja. Kemudian aku mandi, membersihkan kotoran-kotoran dan debu-debu yang menempel di tubuhku.

Setelah mandi, aku baru ingat bahwa aku masih menyimpan surat tadi di celemekku. Aku mengeluarkannya dari dalam celemek, lalu memberikan lem di sisi belakang kertas itu, dan menempelkannya dalam diaryku. Di atas kertas itu, aku menuliskan tanggal hari ini dan di bagian bawah kertas aku menuliskan ‘Surat dari Mr. Ganteng’. Aku menutup kembali diaryku dan aku memutuskan untuk tidur, karena besok aku harus bekerja dari pagi hingga malam.

“Welcome to my dream, Mr. Ganteng,” gumamku sambil menarik selimut.

* * *

Ibu...

Ibu... Sesosok yang kuat dan menjadi inspirasiku...
Ibu... Motivator dalam hidupku.
Ibu... Sudah membesarkanku hingga kini.
Ibu... Pahlawan saat melahirkanku.
Ibu... Sahabatku, temanku, kakakku.
Ibu... Berjasa seperti guru.
Ibu... Mengajarkan untuk berbuat baik kepada semua orang
Ibu... Mengajarkan untuk mengucapkan terima kasih
Ibu... Segalanya bagiku...

Valentine

Hmmm, Valentine's Day??? Apaan siiih tuhh?? Hari kasih sayang yaa???

Sebenarnya pada tau gak artinya? Terus berawal dari kapan dan siapa pencetusnya??

Klik aja deh... http://www.history.com/content/valentine/history-of-valentine-s-day


Di situs ini, kita bisa tau dari kapan Valentine's day ada... Lengkap!!

Arti sahabat

Arti sahabat itu sebenarnya banyak siih, tapi secara khusus sahabat itu seseorang yang sangat-sangat merelakan waktunya untuk ada di samping sahabatnya. Disaat kita susah, sahabat selalu mengerti apa yang kita rasakan, kita alami, dan kita keluhkan. Dia mampu menjadi pendengar yang baik dan tidak banyak omong di saat kita sedang kesusahan. Dia merelakan bahunya untuk kita saat kita menangis dan memberikan waktu sampai kita berhenti menangis. Dia tidak mencela kita di saat kita bertindak bodoh dan konyol, dia ikut tertawa di saat kita senang dan menangis di saat kita menangis.

Sahabat tidak pernah meninggalkan kita walaupun kita sedang tidak mempunyai uang lebih. Sahabat tidak terlalu ikut campur dalam privacy kita. Sahabat selalu memberikan pendapat yang tidak menyinggung perasaan kita. Sahabat selalu berusaha membangun diri kita di saat kita sedang mengalami krisis percaya diri. Sahabat tidak meniru gaya (berpakaian, bicara, dll) kita, dia menjadi diri sendiri. Sahabat tidak lupa tanggal ulang tahun kita, hal-hal yang paling menyenangkan yang pernah kita alami bersama.

Pokoknya sahabat itu tempat kita berbagi... ^^

Februari 14, 2010

Tips asuransi

:: TIPS MEMILIH ASURANSI KENDARAAN ::

Memilih asuransi kendaraan memang tidak gampang. Apalagi di tengah-tengah persaingan yang ketat dewasa ini. Hampir semua perusahaan asuransi memiliki produk asuransi kendaraan. Tinggal calon nasabah memilih yang mana yang layak diambil. Untuk itu di bawah ini kami sajikan beberapa kriteria agar tidak salah pilih:
1.
Calon nasabah jangan terpaku pada tarif premi murah. Sebab, dalam persaingan dewasa ini, banyak perusahaan asuransi yang banting harga, menawarkan tarif premi murah. Padahal belum tentu ada jaminan pelayanan.
2.
Lihat paket asuransi yang ditawarkan. Misalnya luas jaminan sampai seberapa banyak. Sebab, luas jaminan ini harus disesuaikan dengan keinginan dan kemampuan calon nasabah.
3.
Lihat pula jaringan dari perusahaan asuransi yang bersangkutan. Misalnya berapa banyak punya kantor cabang atau berapa banyak punya bengkel rekanan, sehingga begitu ada klaim tidak menunggu lama guna memperbaiki kendaraan atau melaporkan kendaraan yang hilang.
4.
Bisa ditanyakan lebih dahulu kemudahan, fasilitas atau nilai tambah apa yang bisa diperoleh bila membeli polis di perusahaan itu. Misalnya, apakah ada mobil derek, mobil pengganti atau hotline service, jasa montir, mobil ambulans dan lain sebagainya. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah kemudahan untuk melakukan perubahan-perubahan serta kemudahan dalam bertanya.
5.
Perlu dipertimbangkan pula bonafiditas perusahaan asuransinya. Jangan sampai begitu ada klaim, bengkel rekanan pun tidak punya. Sebab, banyak perusahaan asuransi mengklaim mereka adalah yang terbaik. Padahal kondisi keuangannya sudah sangat parah.


Selain yang tersebut di atas, masih ada beberapa faktor yang seharusnya dipertimbangkan dalam proses memilih suatu perusahaan asuransi termasuk dalam memilih produk. Hal yang perlu diingat bahwa dalam memilih perusahaan asuransi swasta, maka yang harus dipertimbangkan secara umum adalah tiga faktor.

Pertama, kekuatan keuangan (security). Kedua, jasa (service). Dan ketiga, biaya atau beban. Kekuatan keuangan asuransi menyangkut kemampuan keuangan perusahaan tersebut untuk memenuhi janjinya jika keadaan membutuhkan. Hal ini penting diketahui, karena tidak sedikit perusahaan asuransi yang tampak di luarnya mentereng. Misalnya gedungnya bertingkat, kendaraan direksinya bagus-bagus. Tetapi tatkala terjadi klaim dari nasabah, perusahaan tersebut tidak mampu membayar.

Dalam menilai kekuatan keuangan ini ada beberapa tolok ukur yang perlu diperhatikan.
a.

Aset dan liabilitasnya. Ini bisa dilihat dari laporan neraca keuangan yang diumumkan di koran. Lihat juga, apakah investasinya ditanam pada current atau longterm. Dari segi liabilitas (kemampuan melunasi kewajiban) akan terlihat di neraca, bagaimana utangnya pada reasuradur, bagaimana dia memenuhi kewajiban membayar klaim, dan lain sebagainya.

Indikator liabilitas antara lain net equity (modal sendiri) dibagi `net premi` (premi bersih) minimal 50%. Modal sendiri dibagi `gross premi` (premi kotor) minimal 20%. Batas tingkat solvabilitasnya, yang terlihat dari modal sendiri dibagi premi bersih minimal 10% dan dana investasi dibagi cadangan teknik minimal 100%.
b.
Underwriting Policy. Di neraca dan laporan tahunan akan terlihat bahwa asuransinya masih untung, atau mengalami pertumbuhan laba. Ini berarti underwiting policy-nya bagus.
c.
Underwriter-nya. Asuransinya memiliki tenaga-tenaga yang berkualitas atau tidak. Itu diketahui dari profil perusahaan yang memuat para underwriter-nya.

Jasa (service) merupakan cermin sejauh mana sumber daya manusia di perusahaan tersebut berkualitas atau tidak. Apalagi, perusahaan asuransi adalah menjual jasa, maka layanan prima merupakan kunci utama. Misalnya, sejauh mana kecepatan pelayanan baik dalam menerbitkan polis apalagi dalam pembayaran santunan atau klaim.

Selain itu, soal pelayanan sebenarnya bisa dirasakan sendiri oleh nasabah. Apakah perusahaan asuransi ini sudah betul-betul memberikan pelayanan terbaik buat nasabahnya.

Dalam hubungan ini perlu juga dipertanyakan, apakah perusahaan asuransi ini mereasuransikan pada reasuransi yang keamanannya kelas satu. Ini bisa dilihat dari laporan tahunannya. Hal ini penting diperhatikan, karena bila perusahaan tersebut tidak di-back-up oleh reasuransi, besar kemungkinan perusahaan tersebut bersifat spekulatif dalam menerima premi.

Masalah biaya adalah seberapa besar biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi dalam operasionalnya. Kalau lebih besar biaya dibanding pemasukan, maka jelas perusahaan tersebut tidak efisien. Kalau sudah tidak efisien, maka ujung-ujungnya akan mengalami kerugian. Dan, kalau terus-menerus rugi, pasti tidak sehat.

Dalam hubungan ini bisa juga dilihat harga preminya. Bandingkan harga premi asuransi yang sama dengan asuransi yang lain. Mana yang kualitasnya betul-betul baik.
Dewasa ini pemerintah sudah menentukan salah satu tolok ukur kesehatan asuransi (bukan satu-satunya) yaitu melalui mekanime RBC (Risk Base Caital). Kalau angka RBC-nya besar, ini berarti perusahaan tersebut dinilai dalam kondisi baik. Tetapi kita tidak boleh terpaku semata-mata dengan angka RBC. Sebab, bisa pula terjadi perusahaan besar yang sedang melakukan ekspansi besar-besaran seperti membuka banyak kantor cabang, maka angka RBC-nya pasti akan kecil.

Sebaliknya, ada perusahaan asuransi yang kecil tetapi tidak pernah melakukan ekspansi, maka angka RBC-nya mungkin jauh lebih besar.

Jadi, angka RBC tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya ukuran, apakah perusahaan asuransi itu sehat atau tidak.

Dalam hal ini yang juga patut diperhatikan adalah kinerja perusahaan tersebut dalam dua atau tiga tahun terakhir. Seberapa besar keuntungan yang diperoleh tiap tahun, berapa besar premi bruto yang mereka terima tiap tahun, seberapa besar penambahan modal dan aset setiap tahun.

Dan, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana perilaku manajemen perusahaan tersebut selama ini. Adakah manajemen perusahaan itu selama ini ingkar janji? Pernahkah manajemen perusahaan ini mengalami wanprestasi dan lain sebagainya.


Opini saya: Jadi dalam mencari asuransi kendaraan haruslah diperhatikan asuransi yang akan kita gunakan. Jangan sampai terjadi suatu yang mengakibatkan kesalah pahaman. Di Indonesia sendiri sudah banyak asuransi yang menawarkan asuransi untuk kendaraan..

Tips di atas sangat berguna untuk kita dalam mencari asuransi kendaraan.

Februari 11, 2010

Jangan Asal Percaya Mitos

Kita sebagai perempuan, banyak bangeeet hal yang bikin kita bingung dan ragu tentang kodisi tubuh, termasuk Miss. V. Banyak mitos yang menambah keraguan kita dan belum bisa dipastikan kebenarannya. Coba yuk, kita cek faktanya! Check it out...

Mitos: Menggaruk Paha saat menstruasi dan pantat dapat menyebabkan stretch marks
Fakta: Nggak Benar! Stretch masrks yang terlihat seperti garis-garis putih di kulit, diakibatkan kulit merenggang melebihi kapasitasnya. Biasanya, stretch marks muncul saat wanita sedang hamil atau mengalami penurunan atau kenaikan berat badan drastis, bukan karena garukan.

Mitos: Memakai pantyliner bisa menyebabkan keputihan
Fakta: Nggak benar! Memakai pantyliner dan menggantinya setiap tuga jam akan menjaga kebersihan dan kesehatan Miss. V kita. bila mengalami keputihan, pantyliner akan menyerap cairan keputihan supaya tidak mengotori pakaian dalam.

Mitos: Makan nanas dan terong membuat vagina 'becek'
Fakta: Naggal benar! Nanas dan terong tidak menyebabkan bertambahnya hormon di tubuh kita, karenanya tidak dapat membuat cairan bertambah banyak.

Mitos: Keputihan menunjukkan kalau vagina kita bermasalah
Fakta: Bisa jadi. Keputihan yang normal berwujud bening, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak gatal. sedangkan keputihan yang tidak normal ditandai dengan warna kekuningan, kental, dan kadang berupa gumpalan. Biasanya, disertai dnegan rasa gatal dan bau yang menyengat.

Mitos: Tidak boleh keramas saat menstruasi
Fakta: Nggak benar! Selama menstruasi, produksi keringat dan kelenjar minyak di kulit malah melebihi hari-hari biasa, termasuk kulit kepala kita. Sebaiknya, kita rajin keramas dan mandi selama menstruasi.

Sumber: Cita Cinta No. 26/X 23 Desember 2009- 06 Januari 2010